Oleh
S. Miharja, Ph.D
Mathlaulanwar.or.id,- KH Irsjad Djuwaeli, gerak dan aliran pemikiran keagamaan dalam bernegara. Tokoh ulama pendiri sejumlah pesantren dan politisi asal Banten ini, baru saja meninggalkan kita (6 Januari 2021). Beliau, almarhum, belakangan ini kerap muncul dalam ruang publik, termasuk pada ormas Mathlaul Anwar. Dalam beberapa sambutan segarnya, beliau sering mengutarakan sikapnya tentang hubungan baik antara Islam & negara di Indonesia.
Pandangannya tertuju pada komitmen berbangsa. Pancasila adalah pemersatu antara keduanya. Dengan Pancasila, tidak ada sekularisasi antara Islam & Negara di Indonesia. Kita sebagai warga bangsa, harus menjadi bagian dari membangun bangsa.
Sikap kebangsaannya itu, diwujudkan dengan ambil bagian dalam proses kepemimpinan nasional. Media online memberitakan tentang kedekatan beliau dengan KH Maruf Amin, mantan ketua MUI kini Wapres RI. Beliau pun terbuka untuk berbeda pikiran dan sikap dalam proses kepemimpinan nasional, termasuk saat perhelatan capres & cawapres.
Pola pemikirannya dapat kita rujuk pada referensi pemetaan antara pemikiran Abu Ala al-Maududi, Syeikh Ali Abd. Rajik, dan Fazlurrahman. Dari tiga tokoh ini, pola hubungan Islam dan negara masih menjadi perbincangan dalam pemikiran Islam. Setidaknya ada tiga pola hubungan agama dan negara ini, yakni: fundamentalisme, sekularisme, substansialisme.
Pola fundamentalisme mengangkat ide kesatuan Islam dan negara. Islam adalah nilai tertinggi dari Ilahi, dan perlu ruang untuk pengamalannya yang disebut negara. Islam & negara berada secara bersamaan, dan seiring sejalan.
Dalam pola sekularisme, memandang perlunya pemisahan secara mutlak antara Islam dan Negara. Islam adalah konsep yang pasti, sedangkan negara bisa nisbi, dinamis seiring penataannya di jaman yang menuntut perubahan penyesuaian kekinian. Teks Islam dipandangnya harus netral dalam bersentuhan dengan politik.
Dan yang terakhir pola substansialisme. Pada pola ini nilai-nilai religius masuk dalam sistem kenegaraan. Agama pada area keyakinan dan pengamalan ibadah ritual serta sosial berada pada instrumen negara. Secara substantif, agama menjadi bagian yang mendasari dan mewarnai kehidupan bernegara.
Ketiga pola hubungan Islam dan negara ini, masing-masing memiliki alasan logik. Namun demikian perdebatan ketiganya pun cukup tajam. Bermula dari ranah pemikiran, merunut pada sistem pendidikan yang panjang dan kaderisasi gerakan yang nampak berbeda. Masing-masing pola ini sering muncul dalam ruang publik yang terkesan bersebrangan bahkan berbentrokan
Kita tidak masuk pada jargon meng-Islam-kan negara, atau menegarakan Islam. Harmoni Islam dalam Pancasila adalah unik, spesifik dan khas Islam rahmatallilalamin ke-Indonesia-an. Umat Islam adalah warga di Republik ini. Umat Islam pun pejuang dan pendiri dari republik ini.
Republik Indonesia diperjuangkan dan dibangun bersama oleh kebinekaan Indonesia. Karenanya dalam membangun bangsa ini, umat Islam harus ambil bagian. Umat Islam sesuai dengan kedekatan relasional di tingkat pemerintahan, harus berupa menjadi mitra pembangunan. Bersama pemerintahan di tingkat pusat, provinsi, kabupaten / kota, kecamatan, desa, RW, RT, umat Islam harus berupaya untuk berkhitmat pada pemimpin. Sinergi ulama dan umara, serta semua elemen bangsa menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam membangun Indonesia.
Demikian paparan singkat ini, semoga mendapat inspirasi tentang bagaimana memberi makna & nilai dalam kehidupan berbangsa & bernegara. Kita sebagai umat Islam berkewajiban melakukan amal sholih. Dan untuk ini perlu penataan pemikiran termasuk dalam kehidupan sebagai warga bangsa di Indonesia.