Wednesday , 22 March 2023

Tantangan dan Masa Depan Mathlaúl Anwar

  • 10 February, 2021  20:32:27 

  • Oleh: Ahmad Baedowi

    Menjelang Muktamar ke 20 Mathlau’l Anwar (MA), ingatan kolektif kita kepada K.H. Mas Abdurrahman setidaknya mampu menghidupkan kembali wisdom yang telah diwariskan berupa tradisi yang baik (al-muhafazah ’ala al-qadim al-salih) di semua bidang pemikiran almarhum, terutama sebagai penghargaan kita terhadap upaya yang telah dilakukan untuk menyinari bumi pertiwi dengan gagasan keislaman yang modern dan berlaku sepanjang masa.

    Namun demikian, menurut hemat Saya, mempertahankan tradisi yang baik saja belumlah cukup tanpa ada kemampuan menganalisis kondisi aktual saat ini. Tradisi yang baik tetapi beku tentu bukan merupakan solusi yang menjanjikan bagi masa depan MA. Diperlukan keberanian dan terobosan yang inovatif dari lingkungan para mujaddid MA, terutama mengenai posisi MA dalam mempertahankan dan menjaga keutuhan NKRI. Karena itu harus ada semacam keberanian untuk keluar dari ”tradisi” yang seolah-olah tak bisa ditafsirkan kembali ke dalam konteks kekinian.

    Itulah sebabnya mengapa penerjemahan tradisi (pendidikan) Islam ke arah dan agar menjadi sesuatu yang baharu dan memberi harapan (al-akhdz bi al-jadid al-aslah) sangat diperlukan, termasuk dari para cendikia dan tokoh di lingkungan MA. Bagi tradisi keormasan di Indonesia, rasa-rasanya tiada zaman yang lebih menantang dari zaman sekarang ini, di mana polarisasi kehidupan umat Islam Indonesia ditandai dengan begitu banyak masalah. Beberapa kejadian terakhir di Indonesia patut membuat kita untuk berkaca, introspeksi, dan mengevaluasi apa, siapa, dan kemana sebenarnya kita akan menuju.

    Karena itu sudah saatnya MA memiliki kemampuan dalam merumuskan gagasan yang cerdas, terutama dalam mendampingi umat Islam Indonesia. Menurut hemat Saya, MA saat ini harus memiliki kesadaran yang ditandai dengan empat ciri: (1) kritis, (2) memberi danmendatangkan energi, (3) menciptakan, dan (4) menyembuhkan.Tanpa kesadaran dengan ciri-ciri ini, MA akan menjadi suatu yang steril, layu, dan tak memiliki kontribusi yang besar terhadap bangsa dan negara.

    Kesadaran kritis dalam tradisi lingkungan pendidikan Islam di MA bertugas menyuburkan dan mempertahankan kesadaran dominan dalam budaya keagamaan di Indonesia yang cenderung sarat kepentingan, tunduk pada etos konsumerisme, menopang tatanan yang ada, atau malahan mengambil keuntungan darinya.

    Baca juga :  Pelatihan Pengembangan Kompetensi Guru yang Berkesan

    Kesadaran kritis diperlukan dalam rangka membebaskan umat Islam dan sistem teologinya dari lansekap pertarungan kekuasaan politik yang tidak bertanggungjawab dan sistem ekonomi yang menjinakkan dan menundukkan kaum fakir dan miskin.

    Tradisi berpikir kritis di MA perlu dikelola secara modern dan terbuka agar tidak terkesan bahwa MA memiliki pandangan keagamaan yang statis dan terkooptasi, sehingga ke depannya MA dapat melahirkan kembali anak-anak yang memiliki jiwa kesatria, taat, dan menjadi sumber energi yang memungkinkan umat bergerak maju menuju zaman dan situasi yang lebih baik. Artinya kita harus selalu kritis dalam mensikapi realitas sosial-keagamaan yang ada, sehingga berujung pada tumbuhnya harapan dan arah baru menuju masa depan yang ditandai dengan tatanan sosial yang egaliter dan berkeadilan.

    Selanjutnya, MA juga harus selalu memperbaharui kapasitas menciptakan, yaitu kemampuan mengidentifikasi masalah, isu, dan keprihatinan yang melanda kelangsungan hidup umat manusia dan terlibat aktif menemukan jawaban terhadapnya. Kemudian, jawaban tersebut diterapkan dengan kreatif untuk mencapai hasil seoptimal mungkin tetapi tetap diperlakukan sebagai sesuatu yang tentatif. Hasil itu dianggap tentatif karena dapat diuji ulang dan ditinjau kembali sehingga, dengan demikian, menjadi awal siklus penciptaan selanjutnya.

    Lebih lanjut lagi, kapasitas menciptakan memerlukan pendamping dan pembimbing. Karena itu isu tentang pentingnya capacity building bagi para pengelola MA harus terus mendapat perhatian kita bersama. Orang-orang berkemampuan khusus seperti al-maghfurlah Kiyai Mas Abdurrahman dahulu ditempa oleh sebuah kebutuhan khusus sehingga menimbulkan semangat berlipat ganda dalam menuntut ilmu. Kita tentu membutuhkan suasana dan tradisi berorganisasi dengan ghirah seperti ketika MA mula pertama didirikan, dimana semangatnya dapat mengembalikan dan menumbuhkan spirit santrinya persis sama seperti yang pernah dialami oleh para pendahulu kita.

    Oleh sebab itu, MA juga harus selalu berusaha untuk terus-menerus mengembangkan kesadaran menyembuhkan. Ini merupakan kekuatan spiritual yang bersumber dari komitmen dan kegairahan terhadap risalah dan nubuat agama. Kekuatan spiritual ini merupakan kebutuhan dan ciri khas yang selamaratusan tahun telah hidup dan menjadi tradisi di organisasi dan lembaga keislaman di Indonesia.

    Baca juga :  Pembangunan UIII Dimulai

    Semangat menyembuhkan menjadi sangat relevan untuk terus dipertahankan MA, karena kesadaran meyembuhkan ini tidak selaras dengan rasa benci dan bermusuhan di kalangan berbagai kelompok masyarakat yang berbeda agama, kelas sosial, dan latar belakang lainnya. Kesadaran inilah yang akan menempatkan MA pada tempat publik yang sama dengan siapa pun, yang dengan nilai sinergi dan kesalingtergantungan bersama-sama melakukan tugastugas kenegaraan dan keislaman.

    Selain keempat kesadaran yang telah saya sebutkan di atas, MA juga harus siap menerima kritik bahkan dari orang-orang yang tidak suka dengan MA. Militansi yang telah ditanamkan oleh K.H. Mas Abdurrahman harus terus dikembangkan, karena meskipun kata miltansi (militant) sangat berbau militeristik, tetapi dalam bentuk adjective kata ini sering kita gunakan untuk mengartikan sebuah tindakan sosial tertentu. Militansi para petani di Banten seperti diteliti oleh Sartono Katrodirdjo, misalnya, dalam pengertian yang positif perlu kita sosialisasikan kembali ke dalam ranah dan relung hati umat Islam, agar potret umat Islam yang selalu lekat dengan kata radikal juga dapat kita kikis dari pemahaman orang.

    Setiap peristiwa pasti menciptakan sebuah kesan yang mendalam dalam setiap jiwa kita, terutama jika ada sesuatu yang unik dan menarik di dalamnya. Keunikan itu muncul bukan hanya dari pelakunya, desain, latar dan urutan peristiwa yang menyertainya saja, tapi terkadang muncul dari sesuatu yang kebanyakan orang menganggapnya sepele dan biasa saja. Lihatlah bagaimana cara Einstein menemukan teori gravitasi bumi. Juga bentuk temuan lain oleh para ilmuwan. Hampir dapat dipastikan bahwa setiap temuan selalu dibarengi oleh sikap militansi seseorang, sebuah sikap yang pantang menyerah.

    Dalam sejarah pendidikan Islam, bagaiamana para Imam mazhab belajar juga penuh sifat militansi, sebuah ungkapan yang seharusnya dimaknai dengan kesungguhan (Jiddiyah), kedisiplinan (indhibath), komitmen (iltizam), semangat (hamasah), dan kesabaran (shabaro). Dalam cara yang paling modern militansi juga dapat kita baca dalam novel A. Fuadi, Negeri 5 Menara, yang menggambarkan militansi tertentu impian anak-anak pesantren. Kalimat sakti man jadda wajada (siapa yang bersungguh-sungguh pasti dapat), menggambarkan dengan sederhana tentang pentingnya memelihara militansi mimpi anak-anak kita.

    Baca juga :  Senin 13 Agustus 2018 M Awal Bulan Dzulhijjah

    Mungkinkah nilai-nilai militansi seperti ini mulai hilang dari lingkungan MA? Saya rasa tidak hilang. MA telah memberikan bukti yang jauh dari cukup untuk mengatakan bahwa militansi memang harus tetap ada dan dibutuhkan. Sejarah MA yang awal telah diwarnai, dipenuhi dan diperkaya oleh orang-orang yang sungguhsungguh seperti al-maghfurlah Kiyai Irsyad Djuweli, bukan oleh orang-orang yang santai, bermalas-malasan dan penuh dengan angan-angan semata. Dunia pendidikan MA harus memiliki militansi seperti yang ditunjukkan oleh para ulama terdahulu, agar kesenjangan pendidikan dapat ditekan, akses pendidikan terus dinaikkan, serta jaminan dan komitmen akan kualitas juga meningkat.

    Terakhir, jangan pula kita melupakan bahwa sumbangan terbesar MA di bidang pendidikan bagi Indonesia terbilang cukup banyak, terutama dalam menjaga moral kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada militansi dan heroisme yang nyata dari para founding fathers ketika mendirikan organisasi yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan. Bahkan seorang peneliti asal Belanda, Dr. Karel Steenbrink dalam bukunya yang berjudul Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, menggambarkan dengan baik bagaimana heroisme peranserta masyarakat dalam membangun lembaga pendidikan berbasis masyarakat seperti madrasah dan pesantren.

    Kita terus membutuhkan konsistensi dan strategi pengembangan pendidikan, dakwah dan aktivitas sosial yang fokus dan terarah. Saya percaya begitu banyak enerji dan kreativitas pada komunitas MA yang belum terjamah dengan perencanaan program yang baik. Partisipasi warga MA yang menjadi kekuatan serial dakwah MA selama ini harus terus menjadi prioritas untuk dibangun dan dikembangkan kembali, agar bersama-sama pemerintah MA dapat berjalan beriringan dalam menegakkan kembali citra umat Islam Indonesia yang ramah dan rahmah.

    Wallahu a’lam bi al-sawab.

     

     1,160 total views,  2 views today

    Leave a Reply

    Your email address will not be published.

    Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial