Friday , 15 September 2023

ADA APA DENGAN ALQURAN?

  • 27 April, 2021  11:19:49 

  •  


    Oleh Agus Nurcholis Saleh

    Penulis adalah Dosen di Universitas Mathla’ul Anwar, Program Studi Hukum Keluarga Islam

    ISENG menghitung masjid. Dari tempat domisili menuju tempat bekerja, hanya yang di pinggir jalan saja, ternyata berjumlah 15 buah. Secara jarak, perjalanan pergi/pulang menempuh 8,4 kilometer.

    Secara maps google, jarak itu bisa ditempuh dalam 17 menit. Seluruh masjid itu telah disinggahi. Ada yang nyaman untuk berlama-lama, ada juga yang ingin segera, hanya untuk kebutuhan shalat saja. Apalagi jika masjid-masjid itu menyediakan Alquran yang menarik hamba untuk membaca. Kisahnya pasti berbeda.

    Dua kata yang menjadi kunci dalam tulisan ini adalah ketertarikan dan membaca. Sedangkan masjid sebagai pendukung saja. Jika manusia sangat tertarik kepada Allah, pasti sebagian besar waktunya akan didistribusikan ke masjid. Jika manusia memiliki daya baca yang terpelihara, maka Alquran adalah teman setianya.

    Sebagai tempat, masjid akan merasa bahagia telah membantu manusia. Sebagai ‘media’, Alquran akan membalas pembacanya di hari kiamat dengan kemudahan-kemudahan yang telah direstu-tetapkan oleh Allah.

    Restu Allah itu maha sangat penting. Ada banyak manusia meminta do’a restu. Bahkan di undangan pun sering terselip do’a restu. Tapi sedikit manusia yang meminta restu itu kepada Allah. Nyatanya, manusia hanya mengandalkan lisan dalam permohonan.

    Adapun request via Alquran, hanya sedikit yang melakukan. Lebih ironi lagi kepada mereka yang mengaku dekat dengan Alquran, tapi tampilan perbuatannya tidak Qur’ani. Mungkin sekali ini semacam tuduhan, tapi kenyataan dalam kehidupan adalah bukti dari tuduhan tersebut.

    Bulan Ramadlan ini adalah fakta. Alquran terfragmentasi ke banyak wujud. Pertama, Alquran sebagai barang. Alquran adalah produk percetakan yang dipajang di banyak tempat. Meskipun hanya di etalase, pengaruh Alquran cukup signifikan.

    Setidaknya, Alquran mengingatkan manusia melalui mata. Selain itu, ada banyak tangan yang memegang (lembaran), mengangkat-angkat, dan atau memindahkan. Semoga saja mereka berkeyakinan untuk selalu dalam keadaan suci. Pastilah wudlu mereka tidak pernah putus.

    Kedua, Alquran sebagai simbol Islam. Hal ini masih setara dengan Alquran sebagai barang. Ketika di sebuah ruangan melihat Alquran, atau di mobil/kendaraan tergeletak Alquran, maka penghuninya ada yang beragama Islam.

    Baca juga :  Pedoman Dakwah Komisi Dakwah MUI Se-Indonesia

    Ketika seseorang membawa Alquran, tidak perlu bertanya tentang agamanya, karena langsung diasumsikan bahwa orang tersebut beragama Islam. Simbol adalah ciri. Meskipun diturunkan untuk seluruh manusia, Alquran adalah ciri bagi seseorang untuk disebut-sebut sebagai Muslim.

    Ketiga, Alquran sebagai bacaan. Pertanyaannya, seberapa banyak manusia (muslim) membacanya? Logika dari kehadiran Alquran, membaca adalah keharusan.

    Hal itu untuk kemerdekaan, karena jika bertahan di posisi mendengarkan, adakah orang lain yang bersedia membacakan? Menjadi tergantung itu tidak mengenakkan.

    Menggantung yang benar hanyalah kepada yang kuat, kokoh, dan tidak tertandingi. Jika manusia bersandar, maka sandaran itu tidak akan pernah roboh. Informasi ini lengkap dituliskan di Alquran.

    Sebagai bacaan, Alquran bersifat ‘pasif’. Alquran setia menunggu para pembaca untuk membuka, membaca, dan menikmati isinya. Manusia benar-benar dimerdekakan, hal itu untuk sampai pada tahap kesadaran.

    Allah dan Alquran tidak melakukan pengumuman, apalagi promo. Allah percayakan kepada manusia sendiri untuk merasakan bagaimana signifikansi Alquran untuk kehidupan, kemudian mengetuk mereka untuk mempromosikan bagaimana Allah Yang Demikian Sayang. Semoga banyak manusia yang merasa-lakukan.

    Alquran adalah ‘pertanggungjawaban’ Allah kepada manusia. Setelah menciptakan, Allah membuat panduan, supaya manusia tidak salah jalan, dan berhasil kembali ke pangkuan dalam kesucian.

    Dengan panduan Alquran, Allah sedang mewujudkan kasih sayang-Nya kepada manusia. Jika untuk pertanggungjawaban, manusia harus ditempa dengan keras, itu bagian dari kasih sayang.

    Orang tua dan guru-guru sering melakukan, bahwa kasihan itu tidak serta merta dalam bentuk pemberian atau persetujuan pelulusan.
    Alquran adalah petunjuk keselamatan. Sebagaimana sehat, untuk selamat itu dibutuhkan rupa-rupa tekanan dan kepahitan.

    Dalam hal ini, Allah menegaskan bahwa Alquran diturunkan tidak untuk memberatkan. Jika oleh manusia terasa berat, maka setting pikirannya yang harus diatur. Manusia sering lupa ia sedang melakukan apa, bahwa di dunia ini bukan jalan-jalan atau bersenang-senang.

    Maka, fokuslah pada tugasnya. Untuk meringankan, maka buatlah rencana perjalanan, harian, mingguan, bulanan, dan tahunan.

    Baca juga :  Tahun Politik dan Jalan Terjal Moderasi Beragama

    Dari iseng menghitung masjid tadi, ternyata hidup manusia dipimpin oleh rutinitas. Jika rutinitas itu melalui perencanaan, tentulah sebuah kebaikan. Setelah pembiasaan, maka berikutnya adalah penciptaan karakter. Sayang, tidak banyak yang betah tinggal di masjid. Siang kosong, malampun sepi.

    Bahkan banyak masjid yang dikunci. Kalau ada yang tiduran, seringkali dianggap sebagai ‘kotoran’. Apakah sulit bagi pejabat masjid untuk memunculkan dugaan bahwa mereka itu sedang i’tikaf. Bukankah membantu istirahat adalah kebaikan?

    Tidur adalah kebutuhan, sampai batas/ukuran tertentu yang dikehendaki tubuh, alias selama proporsional dengan aktivitas tubuh. Tidur adalah mekanisme istirahat secara keseluruhan, termasuk dari kesalahan kebiasaan.

    Daripada membuat dosa, dengan ghibah misalnya, bukankah tidur adalah istirahat (berhenti) dari membicarakan orang? Dari 24 jam keseharian, delapan jam adalah untuk yang pas untuk tidur, sampai kemudian, semakin tua, tidur semakin berkurang. Bagi umat Islam, tidur pun bisa bernilai ibadah.

    Kuncinya adalah ikrar dan kepasrahan. Di sepanjang usia harian, sisa dari mengistirahatkan badan dan pikiran, kurang lebih ada enam belas jam. Ikrarkan oleh kita untuk diisi dengan Alquran. Bacalah basmalah sebagai awalan, kemudian tutup dengan mengucapkan hamdalah.

    Adapun keberartian dan kebermanfaatan, kita pasrahkan kepada Yang Menguasai alam. Kita harus menjadikan Alquran sebagai inti dari kehidupan, bukan sebagai “sisa” karena bingung dengan apa yang harus dikerjakan. Bukalah dan bacalah.

    Siapapun yang membaca Alquran, motifnya pasti beragam. Ada yang merasa terpaksa, karena perintah dan tekanan. Ada juga yang penasaran, sebagaimana para muallaf melakukan. Selain itu, ada juga yang karena tugas atau prasyarat pekerjaan/profesi. Ada yang menghafal ayat karena amplop dan uang.

    Wahai para pembaca dan manusia pada umumnya, kenapa tidak sekalian saja mencintai? Segala sesuatu itu harus keseluruhan, maksimal saja sekalian. Hidup tidak boleh di tepi. Hidup itu bukan icip-icip.

    Kepada mereka yang telah mencintai, maka Alquran pun mengembalikan cinta itu berlipat-lipat banyaknya. Jika para pecinta itu memiliki kebutuhan, maka Allah akan segera memberikan. Kalau sudah dekat, apa yang terhambat?

    Baca juga :  Masyarakat Berpancasila

    Alquran adalah pesan kehidupan sekaligus petunjuk berjalan ke depan. Jika ingin kepastian di depan, maka Alquran harus dijadikan sebagai satu-satunya pegangan. Lengkaplah sudah titik-titik kehidupan. Dengan pengetahuan ke belakang (kisah para pendahulu), maka lurus ke depan bukanlah hambatan.

    Alquran adalah jalan kecerdasan. Alquran adalah pembeda manusia, mana yang berjalan memenuhi panggilan-Nya, mana yang memilih melawan kehendak-Nya. Siapa yang konsisten membaca, maka Allah turunkan hijab rahasia sebagai perlindungan dari para pecinta dunia.

    Mereka akan terus merawa kehausan, meskipun bekal dunianya sudah berlebihan. Hidupnya terasa kosong dan hampa. Begitulah seterusnya sampai tiada terhingga lamanya. Lantas dengan modal apa mereka ingin ke surga?

    Alquran adalah pengisi kekosongan dan kehampaan. Bersama covid-19, Alquran adalah sahabat untuk menenteramkan. Ada banyak manusia yang khawatir tak berkesudahan.

    Mereka sangat tergantung dengan tawaran-tawaran dunia, dan setiap hari menggerus pundi-pundi mereka. Ketika dilantunkan Alquran, bukannya diterima dengan kesadaran. Justru, mereka histeris dengan ketidakpercayaan. Ya sudahlah. Hal itu persis dengan yang teramati di masjid-masjid tadi. Sayang sekali.

    Ternyata, Alquran yang berada di masjid-masjid tadi terlalu sukar untuk “dijangkau”. Ada yang terkunci di lemari, ada juga yang terselimuti oleh debu. Apakah masjid itu hanya untuk shalat?

    Padahal shalat itu tidak hanya sujud. Apakah shalat itu hanya berdiri fiqh sejak niat sampai salam? Padahal, shalat, masjid, Alquran, dan manusia adalah satu kesatuan. Setidaknya, lima waktu dalam sehari, manusia-manusia itu sedang disatukan kembali setelah jeda dunia menceraikan dan memporak-porandakan kesejatian hamba.

    Dari sekian informasi tersebut di atas, masihkah ada hasrat di manusia untuk melawan? Dengan demikian, Alquran itu tidak pernah memiliki kesalahan. Justru, pertanyaan yang benar adalah ‘Ada apa dengan Manusia?’ Ketika telah dimerdekakan, manusia mempersempit diri dengan berbagai penganiayaan.

    Alquran adalah modal kesadaran. Manusia harus menyegerakan, jangan menunggu-nunggu godaan datang.

    Wallahu a’lam.

    Loading

    Leave a Reply

    Your email address will not be published.

    Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial