Oleh Agus Nurcholis Saleh
Penulis adalah Dosen di Universitas Mathla’ul Anwar, Program Studi Hukum Keluarga Islam
Ada banyak wilayah yang dikenal se-Indonesia sebagai kota pelajar. Satu diantara yang terkenal adalah Yogyakarta. Tentu, masih banyak kabupaten/kota lain yang mendapatkan julukan serupa, dengan berbagai ciri khas dan keistimewaan lainnya.
Setidaknya, kabupatan/kota itu sering menjadi destinasi, terutama karena ada lembaga pendidikan bonafid yang terdapat di wilayah tersebut.
Di Banten, Menes menjadi salah satu tujuan berpendidikan, baik dari wilayah Pandeglang sendiri, maupun dari luar Pandeglang. Apalagi keberadaan Mathla’ul Anwar, sebagai pionir pendidikan, menjadi daya tarik tersendiri.
Di suatu masa dahulu, rumah orang tua seorang sahabat dari Pasir Waru menjadi homebase pelajar Mathla’ul Anwar dari daerah Kepuh dan Lampung.
Hari ini, apa yang terjadi di suatu daerah adalah jejak dari sebelum-sebelumnya. Apakah masih terjaga ‘kepopuleran’nya atau sudah luntur karena tidak dipelihara, maka yang tersisa hanyalah monumen dan kisah-kisah heroik masa lalu.
Peringatan dari Allah seringkali dianggap angin lalu. Bisa jadi terlena dengan kesegaran angin semilir yang menyapa sekujur tubuh. Padahal, tugas manusia hanyalah menjaga bonafiditas.
Bonafid adalah kata sederhana dari ragam faktor yang ada di dalamnya. Kalau dikaitkan dengan pendidikan, maka faktor input dan proses adalah pembangun bonafiditas.
Input itu terdiri dari man, material, money, modal, dan machine. Ini dikenal sebagai 5M. Sedangkan faktor proses adalah managerial alias kepemimpinan.
Hal ini terkait dengan bagaimana seseorang berusaha menjadi, atau bagaimana sebuah lembaga menjadi bonafid.
Secara kamus besar, bo.na.fid artinya dapat dipercaya dengan baik. Sedangkan bo.na.fi.di.tas adalah hal dapat dipercaya, baik dari segi kejujuran maupun dari segi kemampuannya.
Tentu, lembaga pendidikan menjadi bonafid adalah yang mampu menjaga atau memelihara kelima faktor itu terkelola secara profesional. Adapun yang tidak berkemampuan, inilah pendidikan yang tak berpendidikan.
Kalau melihat Alquran, membaca adalah inti dari pendidikan. Jika tidak bersedia membaca, maka kepintaran manusia akan luntur ditelan masa.
Kesempurnaan itupun tinggal cerita. Sulitkah manusia untuk membaca? Kenyataan dunia adalah jawabannya. UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia. Sungguh pahit mengetahuinya. Betapa minat baca orang Indonesia sangat rendah.
Data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari seribu orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca! Modernitas hanyalah kamuflase.
Apalah artinya sekolah atau madrasah. Para siswa dan mahasiswa hanya mendapatkan status saja sebagai pelajar atau sangat terpelajar.
Benarlah di masa dahulu, Surat Tanda Tamat Belajar, bukan telah belajar apalagi terpelajar.
Di suatu kekesalan, hamba pernah bercita-cita untuk menjadi Menteri Pendidikan. Tapi tugasnya hanya satu, dalam ‘lamunan’ itu, yaitu membubarkan lembaga pendidikan.
Bagaimana dengan uang BOS? Biarlah ibu-ibu menjalankan perannya secara maksimal, dan itu harus didukung secara maksimal. Oleh karena itu, rekening BOS adalah rekening ibu-ibu, jumlahnya menyesuaikan dengan anak-anak yang dipercayakan Allah kepada mereka.
Hamba pun banyak diprotes oleh teman. Katanya, saya anti kemapanan. Bisanya hanya mengacaukan. Memang benar, karena kebiasaan, manusia-manusia akan merasa terganggu jika kebiasaannya dibubarkan.
Sulit sekali memindahkan tangan di bawah menjadi tangan di atas. Begitulah pendidikan tak berpendidikan. Sekolah itupun menjadi kebiasaan. Mereka tidak bergerak karena ilmu, apalagi keikhlasan. Begitulah tantangan. Mari kita jawab.
Sadarkah manusia bahwa mereka itu luar biasa sempurna? Malaikat pun sampai terdiam. Allah yang menegaskan. Jika seantero alam semesta ini dihafal oleh manusia, maka otaknya memiliki kemampuan untuk melakukan.
Komputer cerdas itu buatan manusia kan? Kenapa pembuatnya jadi terjajah oleh mesin ciptaannya? Teknologi itu diciptakan. Bukankah manusia yang menciptakan teknologi?
Oleh karena itu, kalau hanya sekadar membaca, apa sulitnya bagi manusia? Manusia, melalui kepala, hati, dan perangkat di badannya, telah diberi bekal oleh Allah untuk menjadi pemain inti.
Lalu, kenapa banyak manusia banyak yang ke pinggiran dan memilih menjadi pemain cadangan? Bahkan, untuk bercita-cita pun, banyak diantara para pelajar yang memilih mundur dan berlari dari mencari jawaban. Itulah pendidikan tak berpendidikan.
Manusia harus ingat. Allah mengirimkan manusia karena manusia meminta Allah untuk di’pekerja’kan. Oleh karena itu, pertanggungjawabkan permintaan itu. Kerja. Kerja. Kerja. Tapi manusia harus bekerja dengan pengetahuan, bukan sekerja-kerjanya. “Saya mah yang penting bekerja.”
Ternyata, ketika pekerjaannya tidak sesuai dengan keinginannya, manusia lari seribu bahasa. Begitulah kalau manusia bekerja untuk manusia.
Manusia itu terlalu sering mengecewakan, karena manusia tidak memiliki kemampuan untuk memuaskan banyak kalangan.
Kemampuan manusia itu dimampukan. Allah yang membuat manusia memiliki kemampuan. Jika seorang siswa rangking satu, maka Allah lah yang membuat dia itu rangking satu. Adapun guru hanya terlibat dalam penulisan saja. Kalau ada guru yang protes, wajarlah jika pendidikan itupun tak berpendidikan.
Yu mari semua sampaikan protes. Allah akan menerimanya. Apalagi saya, bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Itulah gelar hamba, sebagaimana teman telah lebih dahulu memakainya.
Di belakang namanya tertulis, BAA, BSS. Dari protes itu, mari kita belajar untuk memperbaiki. Diri sendirilah yang bertanggung jawab untuk memulai dan mengakhiri. Jangan menunggu diakhiri oleh Allah melalui panggilan kuburan.
Wallahu a’lam.