Pendidikan di Indonesia dibangun dalam pasang surut dinamika politik nasional yang rentan terpapar oleh polarisasi, akibat keragaman variabel sosio – cultural . Kondisi sosiologis masyarakat dengan berbagai varian masalahnya yang multidimensi, menempatkan pembangunan bidang pendidikan, sampai saat ini belum menunjukkan tanda-tanda kemajuan signifikan. Masalah mutu guru, kesenjangan sosio geografis desa- kota, termasuk orientasi pendidikan masyarakat yang beragam, membuat wajah pendidikan Indonesia identik dengan masalah tak kunjung usai.
Dari sisi kebijakan pendidikan, dalam kurun tujuh dasawarsa lebih sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, telah sepuluh kali desain operasional pendidikan dalam bentuk kurikulum mengalami pergantian. Pergantian ini secara positif dapat dipandang sebagai sebuah dinamika dan bentuk perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap dunia pendidikan yang sangat besar. Bisa juga dilihat secara negatif sebagai tingginya ketidakajegan atau inkonsistensi kebijakan sistem pendidikan nasional.
Paling mutakhir, mulai tahun 2022 ini pemerintah mempersiapkan implementasi perubahan yang ke-10 kalinya. Kurikulum Merdeka atau sering disebut Merdeka Belajar. Pada tahap pertama, menurut data portal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi (Dikbudristek) telah 143.265 sekolah di seluruh Indonesia terdaftar sebagai Sekolah Penggerak, pelopor pelaksana Kurikulum Merdeka.
Salah satu poin pembeda dan mendapatkan penekanan khsusus dalam Kurikulum Merdeka adalah soal ruang kebebasan yang besar (merdeka). Peserta belajar adalah subyek kontruksi belajar. Peserta didik akan belajar dengan mengerjakan project base learning. Pilihan dari siswa akan materi pelajaran akan menentukan bagaimana belajar dilaksanakan tanpa harus terkungkung tempat dan waktu.
Akses akan bahan-bahan sumber belajar yang dekat dengan siswa melalui jaringan internet atau pun kedekatan dengan lingkungan dan peminatan, menjadi dasar menentukan proyek belajar. Kungkungan tempat, waktu dan kelas-kelas dalam sekolah tidak akan ada lagi. Beban satuan pelajaran dirumuskan sendiri dan ditetapkan bersama dengan guru mengacu kepada target Capaian Pelajaran (CP) yang hanya berbentuk besaran pokok tujuan pembelajaran atau elemen pokok.
Dalam Salinan keputusan kepala Badan Standar, Kurikulum dan Asesmen Pendidikan nomor 033/H/KR/2022, yang ditandatangani tanggal 7 Juni 2022 untuk pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, ditetapkan Capaian Pembelajaran (CP) yang merupakan uraian terhadap elemen pokok per jenjang. Contohnya untuk Pendidikan Agama Islam ada 5 Elemen yang ditetapkan dengan target pengelempokkan berdasarkan Fase. Fase A untuk TK/PAUD, Fase B untuk anak SD Kelas 1 dan 2, Fase C Kelas 3 dan 4 dan seterusnya.
Adapun 5 Elemennya antara lain, Alquran dan Hadits, Akidah, Fikih, Akhlak dan Sejarah Peradaban Islam. Dari lima elemen pokok, kemudian diurai dalam Capaian Pembelajaran. Capaian ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Tujuan Kompetensi yang ada pada kurikulum sebelumnya. Namun, desain dasar kurikulum yang didalamnya terdapat metode belajar, akan sangat berpengaruh bagaiamana proses belajar akan berlangsung. Utamanya, kebebasan pilihan seperti ditegaskan dalam kontruksi Kurikulum Merdeka Belajar, tentu akan berbeda pada proses dan hasil.
Disinilah pentingnya memberi catatan atas implementasi kurikulum Merdeka. Untuk mata pelajaran umum berorientasi pada aspek penguasaan pengetahuan, tidak banyak masalah muncul. Contoh, untuk pelajaran Matematika, Sains dan lainya, tidak akan banyak masalah dari manapun sumber belajar baik inti maupun pengayaan didapatkan oleh siswa. Eksplorasi peserta belajar dari berbagai sumber informasi pengetahuan akan semakin bermanfaat dan membuat peserta belajar memiliki pengetahuan semakin luas.
Akan tetapi untuk pelajaran Agama dan Budi Pekerti akan berbeda. Pada pelajaran agama dan budi pekerti dengan orientasi CP pada keselarasan sikap mulia dan prilaku sebagai anggota masyarakat bernegara, ada tatanan nilai bersama. Selain itu, pada agama juga terdapat ragam keyakinan yang tidak jarang memiliki orientasi sikap kebersamaan yang berbeda pula. Tentu hal ini akan sangat menstimulasi ketertarikan individu jika diberikan keleluasaan untuk menentukan bahan belajar dan media pembelajarannya.
Bagaimana soal-soal ini diterjemahkan dalam kurikulum merdeka? Bagaimana guru sebagai mitra belajar bersikap dalam konteks keragaman yang dilatari oleh keragaman siswa? Apakah guru sudah dibekali dengan dasar-dasar pengetahuan bagaimana kebebasan peserta menentukan media dan sumber belajar pada Kurikulum Merdeka? Lalu akan diterjemahkan seperti apa kemerdekaan itu pada tingkat satuan pendidikan?
Kebebasan Individu VS Etika Sosial ?
Pelajaran agama dan budi pekerti sejak awal kelahirannya mulai periode awal kemerdekaan maupun pada masa orde baru, sudah memiliki beban ketidakbebasan pada individu. Materi pelajarannya terpola dalam ruang etika sosial yang dibangun dalam konteks etika hidup bersama yang sarat dengan muatan politik kekuasaan maupun politik kenegaraan.
Kebijakan politik pemerintah berkuasa, sangat menentukan ruang kebebasan individu. Dalam perjalanan sosio historis Indonesia, kebebasan individu adalah barang mahal. Pilihan individu hanya untuk memenuhi aspek pengetahuan atau mengetahui (kognitif), bukan untuk menentukan orientasi sikap pribadinya sebagai dasar tindakan dalam hidup bersama.
Pada perjalanannya desain kurikulum selanjutnya pun demikian. Soal ruang kebebasan individu belum berubah secara signifikan. Betapapun ada penekanan pada kompetensi dan kemampuan interpersonal individu pada kurikulum KTSP (Kompetensi tingkat satuan pendidikan), tetapi ruang kebebasan individu masih terperangkap pada pencapaian-pencapaian bersama tingkat satuan pendidikan.
Maka kemudian, ketika kurikulum Merdeka diperkenalkan, ada kesan ruang kebebasan dalam Kurikulum Merdeka seperti berhadap-hadapan dengan pelajaran agama dan budi pekerti yang desain dasarnya pada ruang etika sosial. Dengan kata lain, dua pelajaran ini seperti menganulir ruang kemerdekaan individu dalam desain Merdeka Belajar. Bagaimana pilihan-pilihan individu terhadap sumber dan media belajar akan terakomodasi dalam ruang disiplin ilmu agama dan budi pekerti?
Para filsuf kebebasan individu mulai dari Isaiyah Berlin (1909 -1997) sampai pemenang Nobel ekonomi dari Benggala, Amartya Sen (1985) sepakat untuk satu hal tentang kebebasan individu. Menurut Berlin, pada setiap pilihan rasional individu itu, sebenarnya dapat dipastikan mengandung nilai-nilai yang baik—meskipun bisa terjebak dalam ruang keburukan.
Karenanya, pilihan tersebut dapat diakui dan diteruskan sebagai pilihan pribadi yang ada di ruang bersama. Amartya Sen menyebut, betapapun akan ada self interest maximization pada seseorang yang dibebaskan untuk memilih dan menentukan sikapnya, tetapi pada pilihan rasional seseorang, akhirnya akan menuju pada kesepakatan-kesepakatan bersama.
Artinya membangun kontruksi pilihan rasional seseorang menjadi penting. Pilihan media belajar, sumber belajar dan metode belajar dari siswa, dapat dianggap sebagai pilihan rasional, selama diperoleh dengan cara-cara yang tidak menyalahi aturan. Artinya, harus ada pengakuan dan penerimaan secara terbuka pada penyelenggara pendidikan terhadap pilihan-pilihan siswa.
Contohnya, untuk pelajaran agama Islam, tidak boleh ada pembatasan terhadap siswa dalam menentukan bahan bacaan keagamaan, eksplorasi materi keagamaan meskipun akan berpengaruh pada sikap dan cara pandang keagamaannya. Ini adalah konsekuensi dari penerapan Kurikulum Merdeka dan konsekuensi logis dari pilihan-pilihan individu.
Keyakinan bahwa pilihan rasional individu pada akhirnya akan tunduk pada nilai bersama, harus dikedepankan. Tinggal bagaimana nilai-nilai bersama itu secara simultan didorong sampai terinternalisasi mejadi sebuah orientasi sikap. Pada sisi inilah materi Pendidikan Agama dan budi Pekerti mengambil peran. Memperkaya pilihan, memperkaya sumber-sumber dan bahan belajar dan memberikan keteladan-ketaladan bersikap di tengah publik harus digalakan dengan berbagai cara.
Dengan cara inilah Pendidikan Agama dan Budi Pekerti akan sesuai dengan semangat Kurikulum Merdeka, sesuai dengan era kebebasan individu menentukan orientasi sikap keagamaan dan kemasyarakatanya. Bila masih membatasi secara ketat, menempeli jargon-jargon negatif atas pilihan yang berbeda, tidak memperluas khasanah keilmuan yang bersumber dari berbagai ragam dan asal, maka kemerdekaan kurikulum itu patutlah dipertanyakan.
Penulis: Dr. H. Jihaduddin, M.Pd (Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Mathla’ul Anwar)