Monday , 29 May 2023

SEKJEN PBMA: RESOLUSI KONFLIK DALAM PERSPEKTIF ISLAM

  • 07 December, 2022  16:07:26 

  • Fenomena belakangan ini, terlebih menghadapi, Pemilihan Umum tahun 2024, potensi munculnya konflik di tengah masyarakat makin besar. Ormas Mathla’ul Anwar yang lahir tahun 1916 di Menes Pandeglang, sangat  miris dan prihatin.

    “Sebagai organisasi keagamaan yang berpegang pada paham ahlus sunnah waljama’ah dan berprinsip pada Islam rahmatan lil’alamin, akan terus berupaya dan berjuang menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berideologi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indoneisa, serta Bhineka Tunggal Ika,” hal itu diungkapkan oleh Sekretaris Jendral Pengurus Besar Mathla’ul Anwar, Dr. H. Jihaduddin, M.Pd, di depan para awak media.

    Sesungguhnya, tegas Jihaduddin, konflik sulit untuk ditiadakan, karena memang sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Secara historis, konflik manusia telah dimulai sejak anak cucu Adam, ketika Qabil dan Habil bertengkar memperebutkan calon istri. Dalam ilmu social, konflik disebabkan karena adanya ketidakharmonisan.

    Hal itu muncul akibat polarisasi yang senantiasa terjadi di dalam masyarakat yang menimbulkan ketidakpercayaan dan permusuhan. Banyak factor penyebab konflik, diantaranya akibat dari perebutan atas sumber-sumber kepemilikan, status sosial, dan kekuasaan yang jumlahnya sangat terbatas dan tidak merata dalam masyarakat.

    Begitu juga konflik bisa disebabkan oleh adanya benturan antar-kepentingan dan perubahan sosial. Konflik juga bermuara dari berbagai perbedaan, seperti perbedaan persepsi, agama, adat istiadat, organisasi, partai politik, pengetahuan, tata nilai, serta kepentingan. Kebutuhan dasar manusia, baik fisik, psikologis, dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi akan menjadi akar yang mendasar sebagai pemicu timbulnya konflik. Keberagaman kepentingan dalam kehidupan manusia juga akan membuka peluang untuk terjadinya konflik. Tidak jarang konflik yang tidak dikelola dengan baik dapat berujung pada tindakan kekerasan.

    Baca juga :  PT. Tugu Pratama Indonesia, Adakan Baksos kepada 1000 dhuafa dan sumbangkan 15 Juta untuk pembangunan Madrasah MA

    Menurut Jihaduddin, upaya yang dapat dilakukan, ialah menyelesaikan konflik tersebut. Salah satu upaya penyelesaian konflik adalah melalui pendekatan resolusi konflik. Ada beberapa model resolusi konflik, baik itu berupa mediasi, negosiasi, arbitrasi, dan lain-lain. Penyelesaian konflik yang berbasis kearifan lokal juga bisa menjadi alternatif di beberapa daerah.

    “Karena itu, tugas kita (Mathla’ul Anwar), adalah terus berupaya meminimalisir dan bahkan mencegah agar konflik itu tidak mengarah pada perpecahan, mengganggu kesatuan dan persatuan, apalagi mengarah pada tindakan radikalisme dan anarkisme,” lanjutnya.

    Kemudian yang menjadi pertanyaannya ialah, apakah agama mampu menyelesaikan konflik. Apakah agama mampu menjadi perekat sosial atau sebaliknya sebagai faktor atau sumber pencipta konflik. Menurut, Jihaduddin, semuanya tergantung pada sikap dan cara pandang pemeluknya terhadap agama.

    “Kesadaran akan pentingnya pluralisme, kerukunan, keharmonisan dan adanya struktur sosial yang fair dalam mengekspresikan keyakinan, baik intra maupun antar agama akan mampu mewujudkan agama sebagai salah satu perekat social dalam artian yang luas. Sementara yang bersendikan pada sikap claim yang radikal dan fundamentalistik akan lebih sering memunculkan agama sebagai faktor penyebab konflik,” kata Jihad yang juga Warek I UNMA Banten itu.

    Baca juga :  PKPH UNMA Banten Jajaki Kerjasama dengan IHRAM USIM Malaysia

    Dalam al-Quran sendiri, lanjut Jihaduddin, sebagai sumber doktrin Islam, dikatakan bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin (Q.S. al-Anbiya’: 107), dan memberikan jaminan kebebasan dalam beragama /berkeyakinan (Q.S. al-Baqarah: 256). Al-Quran justeru menawarkan spirit dalam menginspirasi dan memotivasi untuk mewujudkan resolusi konflik menuju perdamaian.

    “Pertama, melakukan al-tabayun (klarifikasi). Kedua, Musyawarah (wasyawirhum fil amri) dilaksanakan apabila ada permasalahan atau urusan-urusan muamalah yang tidak ditentukan oleh nash yang jelas. Adanya perdebatan, lebih menunjukan sebagai upaya untuk meyakinkan pihak lain dan mungkin hanya memahami saja. Namun, sebagai mekanisme merupakan upaya menemukan jalan keluar yang terbaik dalam satu urusan,” ujarnya.

    Islam memandang setiap permasalahan didasarkan atas asas perdamaian. Islam tidak menghendaki adanya permusuhan. Konsep perdamaian harus disusun dengan sungguh-sungguh, dan berkeadilan. Misalnya Islam sangat menghargai kaum dzimni yang terikat dengan perjanjian dengan kaum Muslimin dengan memelihara hak muamalahnya dengan hak kaum muslimin.

    Peristiwa perdamaian yang tercatat dalam sejarah adalah ketika perjanjian hudaibiyyah. Diriwayatkan daripada Ummu Kasum binti Uqbah RA katanya: Sesungguhnya beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda: Bukanlah dikira sebagai pendusta jika seseorang mendamaikan perselisihan diantara manusia. Beliau berkata yang baik dan menyampaikan yang baik pula. Dari sini bisa dipahami bahwasannya Islam merupakan agama yang menebarkan perdamaian.

    Baca juga :  Satu Abad NU, Mathla’ul Anwar: NU Hadir Melintasi Berbagai Zaman

    “Sebagai agama yang damai (as-Salâm), Islam mengajarkan budi pekerti yang mulia, adil, jujur, amanah, kasih sayang, sopan santun, lemah lembut, dan sifat-sifat terpuji lainnya,” kata Jihad.

    Bahkan Rasulullah mengatakan bahwa, “Bukanlah seorang mukmin orang yang suka mencela, orang yang gemar melaknat, orang yang suka berkata keji dan orang yang berkata kotor. Islam menempatkan akhlaq sebagai tolok ukur dari iman dan Islam seseorang. Islam senantiasa mengajak manusia pada kejernihan pikiran dan kebersihan hati. Islam melarang  umatnya untuk berdusta, dendam, ghibah, fitnah, adu domba, membunuh dan sifat tercela lainnya.

    Sebagai agama yang raḥmatan lil‟âlamḭn, Islam memiliki nilai-nilai dan spirit dalam konsep ajarannya, baik yang bersumber dari al-Qur’an maupun al-Hadits). Semangat al-Qur‟an adalah moral, dengan semangat moral inilah lahir ide tentang keadilan, baik social, ekonomi dan sebagainya. Kesan utama yang ditinggalkan al-Quran ialah suatu kehendak yang terpadu dan terarah yang menciptakan ketertiban di alam semesta. Hal ini selaras dengan tujuan penciptaan manusia sebagai khalḭfah fil arḍ, sebagai wakil Tuhan di muka bumi untuk menebarkan kasih sekaligus sebagai aktor perdamaian.

    Kontributor: Faiz Romzi Ahmad

    Loading

    Leave a Reply

    Your email address will not be published.

    Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial