Sugandi Miharja *) Dosen UIN Bandung
Abstrak
Tulisan ini ditujukan untuk memberikan suatu gambaran akan pikiran besar dari seorang ulama panutan umat di bawah gerakan Mathlaul Anwar, sejak tahun 1916. Beliau adalah seorang ulama, K.H. Mas Abdurahman yang mendapat kesempatan pendidikan keulamaan di jazirah Arab di bawah guru utama, Syaikh Imam Nawawi Albantani. Bukan hanya beliau, juga belajar kepada Syaikh ini seperti Buya Hamka (pendiri MUI, di Jakarta), K.H. Hasyam Asy’ari (pendiri NU di Jawa Timur), K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah di Jawa Tengah, kini Yogyakarta). K.H. Mas Abdurahman sendiri adalah Pendiri Mathlaul Anwar di Jawa Barat, kini Banten. Sebagai seorang ulama besar, sejumlah tulisan beliau layak kita bedah.
Metode historis dipilih dalam penelitian ini. Di dalamnya terdapat uji dan analisis peristiwa masa lalu sebagai sumber sejarah dan pemecahannya secara historis melalui empat tahapan penelitian ini apa yang disebut heuristik, kritik sumber, interpretasi data, dan historiografi.
Buku berjudul Al Jawaaiz Fi Bayaani Ahkaam Al Janaaiz, karya K.H. Mas Adurahman menjadi karya yang disorot, yang membahas mengenai fiqih social. Bait-baitnya sebagai wujud kekhawatiran dalam bidang pemikiran dan pengamalan agama secara murni. Implikasi penelitian ada memberikan suatu komitmen ulama kepada pembangunan tatanan sosial keagamaan yang terjadi pada kehidupan masyarakat. Kritik sosial pada pribadi ulama adalah suatu penegasan akan pesan peran dan fungsi ulama secara umum.
Kata kunci: ulama, K.H. Mas Abdurahman
Latar belakang
Posisi ulama menjadi khusus dalam struktur masyarakat. Mereka adalah sosok yang dipertimbangkan oleh semua kalangan termasuk kalangan pengusaha, politisi dan pemerintah. Mereka memiliki potensi yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan. Ulama mempunyai daya tarik tersendiri dalam perannya di tengah masyarakat. Pada keyakinan banyak orang, ulama ini dengan segala sifat ilmu dan amal sosialnya menajdi keberkahan tersendiri bagi lingkungan sosial dan fisik sekitarnya.
Kedudukan tinggi ulama melekat seiring dengan perilaku nyata mereka di tengah-tengah masyarakat. Para nabi ini merupakan pewaris para Nabi (al ulama warasatul anbiya). Merujuk kepada Surat al-Jumu’ah: 2, tugasnya ini membacakan ayat-ayat, membersihkan ruhani umat, dan mengajarkan pencerahan agar terhindar dari kesesatan.
Mengajak kepada yang baik (ma’ruf) dan mencegah diri dari mengingkarinya (mungkar) adalah tugas pokok ulama. Termasuk dalam rincian tugas pokok ini, seperti mengajarkan nilai agama, kontrol masyarakat, solusi masyarakat, dan agen perubahan social. Para ulama sering menjadi rujukan solusi problem agama, seperti hukum halal, haram, batil, musyrik, munafiq, kafir, hdst. Pendapat ulama menjadi dasar dan pedoman dalam kehidupan masyarakat untuk selamanya.
Para ulama dekati umat sehingga jadi panutan, jujur sehingga disegani, mulya karena kebijaksanaannya dalam membimbing akhlak. Mereka selalu terpaut dengan akal ilmu dan dorongan nurani. Mereka menjadi anugerah Tuhan yang langka. Karenaya mereka ini mempunyai kepantasan menjadi pilihan masyarakat meminta nasihat kehidupan.
Hasanatul Jannah (2019), Otoritas keislaman di Indonesia tidaklah tunggal, menyebar dalam lembaga-lembaga agama, lembaga negara, maupun tokoh-tokoh lokal. Otoritas dalam Islam ini sebagai hak untuk melaksanakan dan memerintahkan aturan yang dianggap sesuai dengan kehendak Allah. Ototritas ini dalam kontek sub kultur, pondok Pesantren Sebagai Pusat Otoritas Ulama. Di sini ulama mengajarkan dasar-dasar Islam dan menanamkan nilai-nilai keislaman kepada umat.
Ruang otoritas lembaga keagamaan salah satunya melekat dalam pondok pesantren. Ulama mengajarkan dan mengamalkan ilmu-ilmu agama, serta memiliki posisi spesifik dalam kehidupan sosial masyarakat. Ulama menjadi perekat solidaritas keagamaan dan kolektivitas elemen social. Otoritas dalam agama Islam berpusat pada ulama dan pada lembaga-lembaga keagamaan, seperti masjid, mushalla, pesantren, majelis taklim, dan kelompok pengajian lainnya.
Fokus masalah dan tujuan
Tentunya bentangan realitas ulama ini perlu studi kritis, apakah kemudian tetap bertindak dan diperlakukan sepanjang masa seperti itu? Pada aspek-aspek apa ulama menjadi panutan dan kesayangan umat? Bagaimana relasi para ulama ini dengan simpul masyarakat seperti para tokoh terpandang, kaum kaya raya dan kaum pemerintah?
Penelitian ini ditujukan untuk mendapat bentangan komitmen keulamaan dari K.H. Mas Abdurahman sebagai tokoh religi pendiri gerakan Mathlaul Anwar, sejak tahun 1916. Bentangan lebih menukik pada aspek pikiran, perbuatan dan relasi sosialnya. Harapan penelitian ini menjadi dasar pijakan untuk melanjutkan perjuangan mathlaul anwar pada kancah yang lebih luas.
Metode penelitian
Metode historis dipilih dalam penelitian ini. Di dalamnya terdapat uji dan analisis peristiwa masa lalu sebagai sumber sejarah dan pemecahannya secara historis (Abdurahman, 2007: 53). Ada empat tahapan penelitian ini apa yang disebut heuristik, kritik sumber, interpretasi data, dan historiografi hasil penelitian (Hamid & Madjid, 2011:43). Tahap Heuristik dengan menemukan sumber sejarah, seperti benda, tulisan dan sumber lisan baik yang resmi formal dan informal dalam klasifikasi sumber primer dan sekunder. Tahap Kritik sumber melalui penilaian eksternal dan internal sesuai fakta problem penelitian yang relevan. Interpretasi data berupa pemahaman data faktual yang utuh. Historiografi hasil penelitian sebagai proses penyusunan dalam tulisan logis yang akuntable. Penulisan ini dalam sasaran fakta detail, bukti lengkap, dengan bahasa lugas, terstruktur secara logis”.
Hasil dan pembahasan
Istilah ulama dalam pandangan organisasi Mathlaul Anwar menunjukkan pada kata ‘alim, orang pandai, berilmu agama yang didalami dan ditekuni serta diamalkan sehingga memiliki pribadi yang terjaga. Dalam isitilah sunda, ulama ini sering dipanggil dengan “Ajengan”, maknanya orang yang menjaga keagungan akhlak karena perilaku mulya dalam ilmu dan bantuan kepada orang lain. Dalam istilah umum, populer disebut “Kiayi” yang menunjukkan sifat integritas pada kemampuan priyayi dalam dorongan mengabdi dan bakti atas perintah agama yang diyakininya dan diamalkan secara terus menerus. Mereka seakan menjadi penyambung lidah para nabi dalam menyampaikan pesan-pesan agama yang mereka amalkan secara ikhlas.
Sifat melekat mulia para ulama, dikenal kalangan berbudi pekerti, seperti jujur, berani, sederhana, sopan, dermawan, taat pada aturan agama. Mereka pasti menjauhi hal yang haram, dan melaksanakan kewajiban agama seperti ibadah penyembahan kepada Tuhan dan perilaku sosial membantu sesama berupa sedekah, infak, wakaf, dst. Mereka tidak ada sifat: sombong, riya, takabur, rendah diri, dst.
Karya tulis K.H. Abdurahman berjudul Al Jawaaiz Fi Bayaani Ahkaam Al Janaaiz, menjadi buku yang menjadi inspirasi dan motivasi ke arah peran serta aktivitas beragama. Buku ini setebal 93 halaman, yang disajikan dalam hurup arab, secara umum membahas mengenai fiqih social yang berkaitan dengan manusia sebagai pribadi, manusia sebagai makhluk social, manusia bermasyarakat dan beragama. Bait- baitnya sebagai wujud dari kerisauan beliau dalam bidang pemikiran dan pengamalan agama secara murni, terbebas dari sinkritsme keyakinan dan penghambaan.
Gambar 1. Jilid buku Al Jawaaiz Fi Bayaani Ahkaam Al Janaaiz
Dr. H. Jihaduddin sebagai tokoh Mathlaul Anwar senyimpan buku Al Jawaaiz Fi Bayaani Ahkaam Al Janaaiz itu. Menurutnya ada satu halaman yang perlu perhatian para ulama. Dalam penjelasan berbahasa Sunda, disampaikan bait-bait komitmen ulama pada jati dirinya.
Gambar 2. Konten Al Jawaaiz Fi Bayaani Ahkaam Al Janaaiz, halaman 3
Dr. Ade Hidayat, intelektual muda Mathlaul Anwar mencoba menerjemahkan tulisan K.H. Mas Abdurahman itu. “Ulama sebetulnya betebaran di tiap-tiap kampung. Ada yang alim, tetapi banyak juga yang tidak sayang kalian. (Yaitu ulama) yang terbawa oleh perbuatan buruk, terjebak bergaul dengan orang-orang bodoh (jahil), dan mereka takut tidak disukai oleh orang yang banyak harta.
Maka (sikapnya) diam dalam membicarakan ilmu yang tidak sesuai dengan hawa nafsunya, kemudian lama-lama hilanglah ilmu dan amal kebaikannya; Akhirnya jadi terbalik-balik setiap perkara, yang bid’ah jadi sunnah, yang sunnah jadi bid’ah. Lupa dengan tanggungjawab ulama untuk tabligh, yakni menyebarkan ajaran Islam yang menjadi kewajiban setiap manusia berilmu”.
Tabel 1. Aspek dan sumber kajian
No. | Aspek | Sumber |
1 | ketersediaan ulama | Heuristik: buku Responden:
Dr. H. Jihaduddin Dr. Ade Hidayat |
2 | Kriteria ulama | |
3 | Prinsif ibadah ulama | |
4 | Tanggungjawab ulama. |
Mengacu pada buku yang ditulis K.H. Mas Abdurahman dan pendapat responden Dr. H. Jihaduddin dan Dr. Ade Hidayat, dapat dipetakan terdapat empat aspek pokok tentang kerisauan ulama Mathlaul Anwar, yakni (1) ketersediaan ulama, (2) jeinis-jenis ulama, (3) prinsif ibadah, dan (4) tanggungjawab ulama.
Ketersediaan Ulama
Ketersediaan ulama harus ada di tiap kampung-kampung. Mereka harus kukuh dalam peran agungnya sebagai ulama yang dimulyakan Tuhan dan masyarakat umat Islam yang dibimbingnya. Sebutan “Ajengan’ pada ulama ini sesungguh tanggung jawab yang harus diembannya.
Kualitas keyakinan, pengamalan dan akhlak umat Islam boleh jadi bergantung pada peran ulamanya (Saihu, 2019). Diperlukan jumlah yang berimbang antara ulama dan umat yang dibimbingnya. Krisis umat dipengaruhi oleh krisis kualitas dan kuantitas ulamanya. Jika ulama ada di tengah-tengah umat akan ada arahan kehidupan beragama. Jika ulama sedikit, sedikit pula umat yang terbimbing. Kaderisasi calon ulama amat penting, untuk pemeliharaan umat dalam beragama.
Sosok ulama terbentuk dari sifat bawaan alami mereka. Namun diperlukan juga pengkondisian pada kaderisasi yang terprogram. Mereka sejak awal menunjukkan sifat cerdas, solih, berkidmat dan senang berkorban. Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Para ulama s adalah mereka yang memiliki rasa takut pada Tuhannya.
Mereka memahami sifat-sifat agung pencita, kalam pencipta dan mengamalannya, menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram. Ulama juga yakin akan hisab amal baik dan buruk di hari akhir nanti, sehingga beruasaha baik selama di dunia. Ulama memahami Alquran, hadits dan kitab pendukungnya sehingga timbul rasa tunduk pada Allah, kemudian menimbulkan kebiasaan ibadah dan akhlak yang baik. Para ulama ini juga mendakwahkan apa dipahaminya kepada manusia melalui tempat ibadah dan lembaga pesantren.
Dwi Budiman Assiroji (2020), kaderisasi ulama biasa dilakukan melalui lembaga pesantren. Polanya adalah, pertama-tama ulama pemimpin pesantren mencari santri-santri unggulan dari santri yang ada untuk dijadikan kader ulama. Kemudian, santri unggulan tadi dibuatkan kelas khusus bersama ulama pemimpi pesantren. Kelas ini adalah kelas tambahan dengan materi yang lebih tinggi dari materi yang diberikan di kelas biasa. Selain itu, santri unggulan ini juga diberikan tugas untuk mengajar kelas bawah sebagai ajang latihan.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di pesantren, ia diarahkan untuk melanjutkan belajar kepada ulama lain yang memiliki kepakaran dalam satu ilmu tertentu. Proses ini sekaligus membawa santri unggulan tadi untuk merantau guna mematangkan jiwanya dan menambah jaringannya. Setelah selesai belajar dan merantau, santri unggulan tadi kembali ke pesantrennya dan diarahkan untuk menjadi penerus ulama di pesantren tempat ia belajar atau diarahkan untuk mendirikan pesantren baru di tempat lain dengan tetap berada di bawah bimbingan gurunya. Setelah itu maka santri unggulan itu mulai menjadi seorang ulama.
Mhd. Syahnan (2019), ulama berperan tidak saja sebagai pendakwah, namun juga sebagai pemikiran melalui tulisan kitab yang di baca umat. Bahkan ulama ini agar terjaga peran dan fungsinya bersatu dalam wadah organisasi keislaman.
Anshori (2021), pesantren sebagai awal kaderisasi ulama memiliki empat ciri khas, yakni persyarikatan, penyangga, penyumbang dan penganut. Muhammadiyah memiliki empat tipe itu. Adapun NU memiliki tipe pesantren “penyumbang” dan “penganut”. Perbedaan historisnya, Pesantren Muhammadiyah merupakan amal usaha organisasi, sedangkan pesantren Nahdlatul Ulama merupakan amal usaha masing-masing kiai.
Farhan Abdullah dan Tria Suci Rachmawati (2022), Pendidikan Kader Ulama Majelis Ulama lndonesia (MUI) DKI Jakarta dinilai telah berhasil menjadi forum kader ulama. MUI DKI Jakarta bisa memfungsikan aspek-aspek manajemen dalam dakwah, sehingga bisa efektif dan efisien. Perannya ini menjadi percontohan kaderasasi ulama oleh lembaga MUI DKI. Secara kualitas, manajemen mutu ISO 9001:2015 juga telah dicapai. Ini suatu audit kulitas manajemen kader ulama yang modern.
Jadi ketersediaan ulama harus ada di tiap kampung-kampung, baik secara kuanlitas maupun kualitas. Mereka adalah peribadi yang langka yang terbentuk dari kultur ilmu, pengamalan agama, dan kesalihan sosial. Mereka disebut juga Ajengan, karena peran agungnya sebagai ulama yang dimulyakan Tuhan dan umat Islam. Kuantitas ulama bisa diperbanyak dengan hadirnya madrasah, pesantren dan perguruan tinggi keagamaan, serta ormas kaderisasi ulama.
Jenis Ulama
Jenis ulama adalah peribadi yang alim, kharismatik. Namun terkadang ada ulama yang tergoda melupakan umat yang dibimbingnya. Mereka seakan tidak menyayangi jamaahnya. Kecerdasan, ilmu dan sifat tinggi lainnya melekat pada ulama ini. Mereka mendapat posisi yang tinggi di masyarakat, namun harus hati-hati agar tidak terjebak, yang melupakan jati dirinya sebagai ulama.
Ulama seharusnya membawa umat pada amal agama di tengah keadaan umat yang beraneka ragam. Ulama tidak boleh terbawa perbuatan buruk termasuk dalam aktivitas melalaikan dengan orang- orang bodoh (jahil), dan pergaulan dengan orang kaya juga para pemangku pemerintahan. Pembicaraan ulama haus fokus pada ilmu agama, murni tidak didorong oleh hawa nafsu untuk mendapat hadiah duniawi. Jika tidak demikian, ulama akan kehilangan keberkahan ilmu dan energi pada amal kebaikan.
Al-Gazali, lafadz ulama pada orang berilmu, namun tidak semua dari mereka boleh bergelar ulama. Keulamaan bukan hanya pengetahuan, tapi juga ketakwaan dan rasa takutnya kepada Tuhan dan membersihkan diri dari kepalsuan (Syamsuddin Arif, 2017: 23). Lebih lanjut, Al-Ghazali, ulama dalam relasinya dengan pemerintah terdapat tiga golongan.
Pertama, ulama hujjah yang tetap kokoh dalam mengutamakan perintah agama di jalan yang benar. Kedua ulama hajjaj, yang berjuang di garda terdepan memimpin umat mempertahankan politik yang menegakkan agama Tuhan. Ketiga ulama mahjuj, yang berhamba kepada dunia, budak penguasa zalim. Martabat masyarakat bisa hancur, bila ulamanya hancur lebih dulu. Agama dan pemerintah dianalogikan sebagai saudara kembar, agama sebagai fondasi bangunan dan pemerintah sebagai penjaga dari pencurian.
Walid Jumblat Abdullah (2021), membahas mengenai hubungan ulama dalam negara. Ulama orang-orang berilmu agama, “pewaris para Nabi”. Mereka mempunyai peran dan tanggung jawab serupa dengan para Nabi, yakni menyeru manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk menjelaskan apa yang Dia perintahkan bagi umat manusia, dan mempertahankan integritas Islam dari kerusakan internal dan tantangan eksternal. Mereka mendapat pendidikan madrasah, pondok atau di universitas Islam kontemporer. Para ulama memiliki kemampuan menyimpulkan hukum Islam berdasarkan penalaran fiqh. Mereka menguasai pengetahuan hukum Islam, bukan kekuasaan yang diberikan kepadanya melalui jabatannya. Kesempurnaan spiritual adalah pusat keberadaan para ulama yang mewakili kesalehan, kejujuran, dan legitimasi otoritas moral.
Otoritas ulama ini bersifat privat. Selama umat Islam menganggap serius keyakinan mereka, ulama menempati status terkemuka dalam menangani masalah kehidupan praktis. Otoritas politik menempatkan para ulama dalam posisi kooptasi hingga represi. Kooptasi dapat mengakibatkan kredibilitas ulama ternoda sehingga tidak memiliki efek yang diinginkan pihak berwenang. Represi dapat mengasingkan unsur-unsur masyarakat Muslim sehingga otoritas politik harus menemukan keseimbangan dalam berurusan dengan ulama.
Jadi ulama dengan kapasitasnya yang luas, akan bangak penggoda atas syahwat dunaiwi. Ketika duniawi menggoda para ulama, maka segala ucap dan perilakunya menjadi penuh kepalsuan, tidak lagi atas dorongan keagamaan. Ulama tidak saja dituntut berilmu, tapi juga terjaga ketakwaan dan rasa takutnya kepada Tuhan. Hubungan agama dan negara, tidak boleh menggodanya atas ketertarikan pada fasilitas dan pujian.
Prinsif Ibadah
Ulama menerapkan prinsif ibadah harus ikhlas berharap mendapat ridho Tuhan sesuai dengan tuntunan dalam keyakinan, ibadah dan akhlak. Ulama tidak boleh terbawa pada keadaan membalikkan bid’ah menjadi sunnah, sementara yang sunnah menjadi bid’ah.
Walaupun Alquran disepakati sebagai sumber hukum Islam yang utama, namun ada peluang pembedaan dalam menafsirkannya. Ahmad Zainal Abidin (2019), perbedaan itu sendiri ada yang bersifat umum dan khusus. Perbedaan umum dalam ikhtilaf qira’at, nasikh- mansukh, dan posisikan akal sebagai sumber hukum syariat. Perbedaan khusus dalam sanad dan matandan mazhab. Ada dua sifat perbedaan ini, yakni tanawwu’ yaitu perbedaan pendapat yang semuanya bertujuan sama; dan taddad, yaitu perbedaan pendapat yang saling bertentangan dan tidak dapat disatukan.
Ketika terjadi wabah pandemicovid 19 ulama di dalam wadah MUI, menunjukkan posisi istimewa sebagai solusi agama untuk mejawab krisis. Di sini terdapat realitas ulama akan posisi aktor dari tindakan sosial keagamaan melalui fatwa model peribadatan. Ulama dalam MUI juga berupaya untuk meneruskan tradisi para Nabi dan Sahabat hal ketentuan wajib dan haram dalam peribadatan ketika kondisi tidak normal bahkan membahayakan.
Ahmad dan Moh Jazuli (2020), suatu studi kasus pada topik nafkah pada istri dalam pandangan Ulama terdahulu dan ulama kekinain. Nafkah yang menukik pada nilai ekonomi, dimana ekonomi yang diberikan pada kategori berlebih, cukup,atau kurang. Kategori ini kemudian dianalisis menjadi suatu ketentuan hukum syara yanh sifatnya normatif namun juga ada yang sifatnya situasional. Kondisi suami-istri sama-sama berpenghasilan dari bekerja, suami-sitri sama- sama ikut mengelola bisnis keluarga, istri yang tidak terlibat ekonomi menjadi dasar nilai nafkah ini.
M Anzaikhan (2021), pluralitas pemahaman keagamaan termasuk hal yang meresahkan bahkan menimbulkan gesekan konflik. Namun pandangan ini, oleh para ulama yang cukup ilmu, pluralitas tergolong sunnatullah dalam hal perbedaan mazhab. Konflik sering kali ditimbulkan oleh pluralitas sekte daripada pluralitas cara pandang figh ibadah. Ulama melarang jamaah dan santri belajar Pemikiran Islam. Justru kesuburan pemikira ini hanya ada di kalangan kampus. Konteks nyata dalam masyarakat akan sangat berat, ketika pluralitas ini mencuat di kalangan umum.
Ibnu Elmi Achmat Slamat Pelu, Jefry Tarantang (2020), fatwa ulama penting bagi jawaban permasalahan umat. Kompleksitas kekinian semakin menuntut kualitas ulama dalam menerbitkan fatwa. Secara historis perlu sejumlah pendekatan fatwa, mulai dari perundangan, sejarah, dan konseptual. Dalm temuannya, fatwa secara hukum Islam termasuk berkedudukan tinggi, karena menjadi solusi hukum. Fatwa ulama di MUI bersifat mengikat secara sosiologis, namun fatwa ini secara legal dan formal tidak dalam norma hukum.
Ketersediaan ulama harus ada di tiap kampung-kampung, baik secara kuanlitas maupun kualitas. Mereka adalah peribadi yang langka yang terbentuk dari kultur ilmu, pengamalan agama, dan kesalihan sosial. Mereka disebut juga Ajengan, karena peran agungnya sebagai ulama yang dimulyakan Tuhan dan umat Islam. Kuantitas ulama bisa diperbanyak dengan hadirnya madrasah, pesantren dan perguruan tinggi keagamaan, serta ormas kaderisasi ulama.
Jadi prinsif ibadah para ulama sesuai dengan tuntunan dalam keyakinan, ibadah dan akhlak. Ulama kokoh pada sunnah, jauh dari bid’ah. Ulama masih banyak peluang untuk beda pendapat dalam fiqh ibadah, namun niat suci dalam qalbu akan membedakannya. Berbagai persoalan fiqh kontemporer yang dibuat dalam fatwa ulama tidaklah menjadi pesanan diluar kepentingan agama.
Tanggung Jawab Ulama
Tanggungjawab ulama adalah dalam tabligh, menyebarkan ajaran Islam sesuai ilmu yang dipahami dan telah diamalkannya. Tanggung jawab ini adalah sepanjang masa sampai seorang ulama itu tutup usia, dan dilanjutnya oleh penerusnya. Pesan agama ini harus semata-mata didorong oleh keikhlasan itu sendiri, tidak untuk kepentingan hadiah duniaiwi berupa pujian manusia dan dukungan harta benda.
Tugas ulama sangat penting dalam empa hal ini tabligh, tabyin, tahkim dan uswah Sri (2005:187). Tabligh dengan cara menyampaikan amanah nabi yang bersumber pada al-Qur’an dan sunnah. Tabyin dengan kemampuan menafsirkan ajaran agama sesuai realitas zaman. Tahkim dengan memberi rujukan ijtihad dalam keputusan hukum (fatwa). Uswah dengan memberi teladan kehidupan sehari-hari sebagai individu maupun kemasyarakatan.
Hubungan agama dan negara di Indonesia cukup banyak penafsiran (Doli Witro, 2020). Sistem pemerintahan demokrasi memberikan kebebasan para ulama dalam berdakwah. Saat ini, persekusi dan intimidasi pada ulama masih ada. Tentu perlu kesamaan pandang yang saling mendukung, bukan saling menjatuhkan antara ulama dan pemerintah. Harus ada jaminan keamanan serta ketertiban di masyarakat. Urusan agama dan negara di Indonesia tidak dapat dipisahkan, ulama dan umara mempunyai posisi strategis dalam negara.
Arroisi dan Jarman (2023), ormas terbesar di Indonesia seperti bergerak sebelum kemerdekaan Indonesia didirikan oleh ulama kharismatik. Para ulama ini seperti K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari termasuk pahlawan perjuangan kemerdekaan. Dakwah mereka beserta para jamaahnya penuh ikhlas dan kejuangan. Gerakan dakwahnya pada pemurnian keyakinan agama serta ibadah juga menjadi solusi permasalahan masyarakat.
Faisal Muzzammil (2020), komunikasi dalam ormas mutlat diperlukan untuk mencapai maksud organisasi, agar bisa bertahan (survive) dan terus berkembang (develop). Terdapat dua jalur komunikasi secara internal pada kepengurusan ormas yang saling berhubungan. Jalur pertama berhubungan secara vertikal antara ormas di bawahnya dengan jenjang ormas di atasnya. Jalur kedua berhubungan secara horizontal yang terjadi diantara pengurus sejajar.
Juga ada komunikasi dari organisasi kepada khalayak dan komunikasi dari khalayak kepada organisasi. Sifat komunikasi bisa koordinatif, informatif, atau konsultatif tergantung tingkat kepengurusan dalam berkomunikasinya. Misalnya komunikasi internal yang koordinatif atau konsultatif, maka menjadi komunikasi vertikal; sedangkan jika komunikasi internal yang informative menjadi komunikasi horizontal.
M. Basyar Alimuddin, Muhyiddin Zainul Arifin, Tholib Hariono (2020), ormas perlu menyusun sistem informasi pendataan anggota di suatu kepengurusan. Keperluannya agar bisa melayani anggota dan masyarakat. Pengelolaan layanan organisasi harus terus lebih baik menggunakan fasilitas teknologi.
Ali Mursyid (2020), ulama di Indonesia cepat tanggap memberikan resposn fiqh ibadah ketika wabah pandemik covid 19 merebak. Awalnya umat Islam gagap dalam mewaspadai serangan virus. Para ulama melalui wadah MUI memberikan jawaban berupa fatwa yang mengacu pada ayat-ayat al-Qur’an untuk mencegah kemudharatan memberi kemudahan. Fatwa ini termasuk tatacara ibadah darurat selama darurat dalam shalat berjamaah, pengurusan jenazah, dst.
Zainal Abidin (2021), Aceh Darussalam setelah terbit Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, ulama seharusnya memiliki peran strategis dalam penetapan kebijakan daerah. Namun, dalam implementasi para ulama masih diabaikan kecuali sekedar ranah nasihat agama saja, belum “`seluruh bidang pemerintahan. Adanya Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), tidaklah sekuat Pemerintah, dan parlemen. Ulama belum menjadi mitra sejajar daam pemerintahan.
Nurlaila, Zulihafnani (2019), memberikan gambaran tentang struktur resmi ulama dan tugasnya yang masih diabaikan dalam pemerintahan di Aceh Darussalam. Sejatinya dalam struktur masyarakat, posisi ulama ditempatkan sebagai masyarakat elite. Selain mengajar agama, ulama juga berfungsi dalam beragam ritual kehidupan masyarakat. Seperti mendoakan dan menshalatkan jenazah, mendamaikan yang berseteru, membantu pembagian harta warisan, memimpin prosesi-prosesi adat dalam masyarakat, dan lainnya.
Kiprah ulama dalam lintas sejarah masyarakat Aceh bukan hanya sebagai pemimpin dan pengajar di bidang agama. Akan tetapi, ulama juga memainkan peran dalam berbagai lini kehidupan masyarakat termasuk dalam bidang politik. Meskipun secara legal formal, Aceh memiliki lembaga MPU untuk memutuskan segala masalah keagamaan. Namun, fenomena yang terjadi masyarakat lebih mematuhi ulama di sekitarnya meskipun tidak ada dalam keputusan MPU. Tidak jarang fatwa tersebut berbeda dengan fatwa MPU.
MPU tidak hadir dan tidak ada pada saat dibutuhkan, memutuskan masalah agama belum tersosialisasi sampai ke tingkat bawah (desa). Ulama diposisikan sebagai pengayom masyarakat, mereka banyak ide untuk meningkatkan kualitas hidup umat. Mereka mengajarkan agama tanpa tuntutan bayaran, bahkan mereka sendiri yang membiayai berbagai fasilitas. Peran nyata mereka selalu ada dalam daur kehidupan, seperti menshalatkan jenazah, mendamaikan perselisihan masyarakat, menyelesaikan warisan, prosesi adat perkawinan dalam pemberian nama pada anak pun melibatkan ulama.
Walid Jumblat Abdullah (2021) Ketika peluang politik lebih luas bagi ulama, elit agama berada pada posisi yang lebih baik untuk membentuk institusi formal dan informal, yang menghasilkan peningkatan islamisasi negara dan masyarakat. Kenyataannya, Islamisasi dan konservatisme negara dan masyarakat cenderung berfokus pada aktor-aktor politik, baik dari pemerintah maupun oposisi. Ulama bisa ditempatkan sebagai aktor pasif yang hanya menerima pilihan yang diajukan oleh elit politik. Mereka adalah agen dalam sistem politik, berpartisipasi dan membentuknya melalui banyak cara, dan keputusan mereka pada akhirnya terkait dengan peluang politik.
Ulama memperoleh otoritas mereka baik dari tradisi Islam maupun persepsi Muslim tentang mereka sebagai penjaga iman. Kekuatan dan kelemahan agen merupakan bagian dari struktur peluang politik yang merupakan “penciptaan manusia serta cetakan yang sesuai dengan mereka.” Aktor menghasilkan struktur, yang tidak permanen atau kaku, karena mereka “terus-menerus menciptakan kembali” struktur tersebut. Kemampuan ulama sebagai kelas yang memiliki legitimasi keagamaan di kalangan umat Islam merupakan bagian dari struktur peluang politik.
Ulama memiiliki kemampuam perubahan lebih dari umat Islam biasa, ketika struktur peluang mereka diberi luas. Namun, tidak semua ulama sama, juga tidak monolitik. Struktur peluang politik berbeda dari “aktor ke aktor dan situasi ke situasi.” Secara real, para ulama ketika berhubungan dengan kekuasaan politik dalam beberapa peluang, sekutu dan pendukung di luar negara, atau kondisi elektoral sosial-politik yang menempatkan ulama pada pemerintahan. Semakin tinggi kedudukan ulama, semakin besar struktur peluang politiknya dan semakin banyak ruang yang dimilikinya untuk berada dalam sistem politik. Dalam kondisi seperti ini, para ulama diberi ruang berpartisipasi dalam proses politik yang dapat memperkuat, melawan, atau mengganti pemerintahan.
Agus Ahmad Safei (2021), bangkitnya konservatisme agama setelah reformasi 1998 telah mengubah wajah Islam Indonesia yang secara historis dianggap damai dan inklusif. Term Islam moderat dalam skala regional, nasional, bahkan global terus menguat. Ada ulama yang mendapat fasilitas pemerintah untuk berperan dalam mempromosikan wacana Islam moderat di pengaturan global. Harapannya ada peran strategis ulama untuk mengembangkan jaringan dengan umat Islam lainnya dalam skala dunia. Program ini mengembangkan wacana Islam moderat sebagai fitrah Islam di Indonesia, juga mempengaruhi pandangan masyarakat Barat tentang Islamofobia.
Jadi tanggungjawab ulama dalam menyebarkan ajaran Islam tidak boleh dikotori oleh kepentingan hadiah duniaiwi berupa pujian manusia dan dukungan harta benda. Tugas ulama dalam tabligh, tabyin, tahkim dan uswah sangatlah penting. Dalam kontek dengan negara, hubungan ulama dengan pemerintah harus ditandai dengan kepentingan agama, tidak ada pencemaran dengan menjual umat.
Penutup
Agar peran ulama sepanjang masa ada di tiap daerah, maka diperlukan upaya ketersediaan mereka secara kuantitas dan kualitas. Upaya ini perlu sistem pendiidkan dan kaderisasi serta membuat wadah yang dapat memelihara sifat-sifat keulamaan.
Ulama menjadi panutan dan kesayangan umat, karena penguasaan keilmuan, konsistensi dalam ibadah, keyakinan dalam beragama yang kukuh dalam hubungan dengan Tuhan.
Para ulama membangun hubungan yang luas dengan semua elemen masyarakat bahkan penerintahan sebagai wahana untuk menyampaikan pesan-pesan agama, bukan untuk kepentingan hadiah duniawi.
Daftar Pustaka
Abd. Rahman Hamid dan Muhammad Saleh Madjid. (2011). Pengantar ilmu sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Abdurahman, D. (2007). Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Agus Ahmad Safei. 2021. Promoting moderate Islam in a global community through the ‘English for Ulama’ programme. HTS Teologiese Studies / Theological Studies. Vol. 77 No. 4 (2021). DOI: 10.4102/hts.v77i4.6878
Ahmad Yani Nasution, Moh Jazuli. (2020). Nilai Nafkah Istri Dalam Pandangan Ulama Klasik Dan Kontemporer. Teraju. Vol 2 No DOI: https://doi.org/10.35961/teraju.v2i02.164
Ahmad Zainal Abidin. (2019). Ikhtilaf Al-Mufassirin: Memahami Sebab-Sebab Perbedaan Ulama Dalam Penafsiran Alquran. Jurnal AT-Tibyan. Vol 4 No 2 (2019). https://doi.org/10.32505/at-tibyan.v4i2.859
Ali Mursyid. (2020). Tafsir Ayat-Ayat Pandemi: Studi Atas Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Misykat. Volume 05, Nomor 01.
Anshori, Isa (2021) Dinamika Pesantren Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama: perspektif sosial, ideologi dan ekonomi. Nizamia Learning Center.
Arroisi, Jarman (2023) Pembaharuan Pemikiran Islam Model Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. UNIDA Gontor 4 (2). pp. 172-188.
Doli Witro. (2020). Ulama And Umara In Government Of Indonesia:A Review Relations Of Religion And State. MADANIA Vol. 24, No. 2.
Dwi Budiman Assiroji. (2020). Konsep Kaderisasi Ulama Di Indonesia. Jurnal Edukasi islami. Vol 9, No 01. DOI: http://dx.doi.org/10.30868/ei.v9i01.661
Faisal Muzzammil. (2020). Komunikasi Organisasi Nahdlatul Ulama (Studi Kasus Tentang Komunikasi Internal Pada Organisasi Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Barat). Komunika. Vol. 3, No. 1. , pp51-63
Farhan Abdullah, Tria Suci Rachmawati. 2022. Urgensi Manajemen Dakwah Dalam Pelaksanaan Pendidikan Kader Ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta. Tahdzib Al-Akhlaq: Jurnal Pendidikan Islam. Vol 5 No 1 (2022). DOI: https://doi.org/10.34005/tahdzib.v5i1.1951
Hasanatul Jannah. (2019). Pondok Pesantren Sebagai Pusat Otoritas Ulama Madura. Al-Hikmah. Vol, 17No. 1
Ibnu Elmi Achmat Slamat Pelu, Jefry Tarantang.(2020). Fatwa Majelis Ulama Indonesia sebagai Solusi Permasalahan Umat Islam di Indonesia. Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam. Vol. 14 No. 2 (2020). DOI: https://doi.org/10.24090/mnh.v14i2.3927
Imam Al-Ghazali. Al-Iqtisad fi’l-I‘tiqad. https://chancellery.utm.my/casis/i-events-2/al-iqtisad-fil-itiqad- of-imam-al-ghazali. Diunduh 8 Mei 2023.
M. Anzaikhan. (2021). Pemahaman Pluralistas Ulama Dayah Dan Dampaknya Terhadap Pemikiran Islam Di Aceh. Abrahamic Religions: Jurnal Studi Agama-Agama (ARJ), 1(2), 202-218. DOI:doi.org/10.22373/ARJ.
M. Basyar Alimuddin, Muhyiddin Zainul Arifin, Tholib Hariono. (2020). Rancang Bangun Sistem Pendataan Warga Nahdlatul Ulama Untuk Optimasi Pelayanan. AINTEKBU: Jurnal Sains dan Teknologi. Volume 12 No. 02.
Mhd. Syahnan. 2019. Nahdlatul Ulama Scholar In Mandailing Land: A Biography of Shaykh Ali Hasan Ahmad ad-Dary. Journal of Contemporary Islam and Muslim Societies. Vol 3, No 1. DOI: http://dx.doi.org/10.30821/jcims.v3i1.4138
Muhamad Agus Mushodiq, Ali Imron. (2020). Peran Majelis Ulama Indonesia Dalam Mitigasi Pandemi Covid-19: Tinjauan Tindakan Sosial dan Dominasi Kekuasaan Max Weber. SALAM; Jurnal Sosial & Budaya Syar-i FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Vol. 7 No. 5, pp. 455-472, DOI: 10.15408/sjsbs.v7i5.15315
Nurlaila, Zulihafnani. 2019. Pengaruh Fatwa Ulama Dayah Dalam Masyarakat Aceh. Jurnal.ar-aniry. Volume 21 Nomor 2.
Posisi ulama sangat penting di tengah-tengah umat Islam (Saihu, 2019: 272).
Saihu. (2019). Pendidikan Pluralisme Agama: Kajian tentang Integrasi Budaya dan Agama dalam Menyelesaikan Konflik Sosial Kontemporer. JURNAL INDO-ISLAMIKA. Vol 9, No 1. DOI:
https://doi.org/10.15408/idi.v9i1.14828
Sholeh Fikri. 2018. Posisi Ulama Dalam Pemerintahan Kota Padangsidimpuan. Tazkir. Vol. 02 No. 1
Sri Suyanta, Pola Hubungan Ulama dan Umara. Disertasi, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2005), hlm.187.
Syamsuddin Arif. (2017). Islam dan Diabolisme Intelektual. Jakarta: INSISTS
Walid Jumblatt Abdullah. (2021). The ulama, the state, and politics in Malaysia. Ciritical Asian Studies. Pages 499-516. https://doi.org/10.1080/14672715.2021.1960576
Zainal Abidin. (2021). Peran Ulama Dalam Sistem Pemerintahan di Propinsi Aceh. Journal of Governance and Social Policy Volume 2, Issue 2. Halaman 156-168. DOI: https://doi.org/10.24815/gaspol.v2i2.23663