(tulisan ini adalah bagian dari buku Islachul ummah yang dikarang oleh KH Haji Uwes Abu Bakar, beliau merupakan ketua Pengurus Besar Mathla’ul Anwar periode tahun 1939–1973. Buku ini ditulis semasa menjadi Pengurus Besar Mathla’ul Anwar dan merupakan Magnum opus dari karyanya.
Ahli Sunnah Wal-Jama’ah, adalah suatu rangkaian kalimat yang sangat populer dan mahsyur bagi kita kaum muslimin. Akan tetapi mulai kapan dan sejak zaman mana mulai adanya dan timbulnya rangkaian kalimat “Ahli Sunnah Wal-Jama’ah” ini. Ada yang berpendapat bahwa hal ini belumlah jelas. Siapa dan bila yang membikin istilah kata-kata tersebut, ini belum terdapat dan ada di zaman Nabi, kata mereka. Rangkaian kata-kata “Ahli Sunnah Wal-Jama’ah” itu belumlah terdapat dikala Nabi kita masih hidup, baik diistilahkan oleh Nabi sendiri atau para sahabatnya. Ini pendapat golongan pertama.
Akan tetapi kita melihat dalam kitab Al-Bariqatul Makhmudiah juz pertama muka 156 ada hadits yang begini bunyinya:
v وروي عن علي رضى الله عنه انه قال:المؤمن اذااحب السنة والجماعة استجاب الله دعاءه وقضى حوا ئجه وغفرله الذنوب وكتب له براءة من النفاق.
v وفى خبر اخر عن عبدالله بن عمررضىالله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم انه قال: من كان يؤمن بالله ومن كان على السنة والجماعة كتب الله تعالى له بكل خطوة يخطوهاعشرحسنات ورفع له عشردرجات فقيل له يارسول الله متى يعلم الرجل انه من اهل السنة والجماعة قال:اذا وجد فى نفسه عشرة اشياء فهو على السنة والجماعة ان يصلى الصلوات الجمس بالجماعة ولايذكراحدامن الصحابة بسو ء ومنقصة ولايخرج على الصلطان بالسيف ولايشك فى ايمانه ويؤمن بالقدر خيره وشره من الله تعالى ولايجادل فى دين الله تعالى ويكفراحدا من اهل القبلة ولايدع الصلاة على من مات من اهل القبلة ويرى المسح على الخفين جائزافى السفر والحضرويصلى جلف كل بروفاجر.
Kemudian juga dalam kitab “Al-Milal wan-Nihal” juz I halaman 12 ada terdapat sebuah hadits yang berbunyi.
واخبرالنبي صلى الله عليه وسلم ستفترق امتى على ثلاث وسبعين فرقة, الناجية منها واهدةوالباقون هلكى قيل ومن النجية؟قال:اهل السنة والجمعة قيل:ومن اهل السنة والجماعة قال:ما انا عليه اليوم واصحابى.
Kedua kitab ini (Al-Bariqatul Makhmudyjah dan Al – Milal wan Nihal) menunjukkan adanya hadits yang menerangkan adanya kata-kata “Ahli Sunnah wal Jama’ah” itu. Maka karena itulah menurut golongan kedua, bahwa kata-kata “Ahli Sunnah wal Jama’ah“ telah telah ada sejak zaman Nabi SAW dan dikatakannya beliau.
Memang tidaklah disebutkan sandaran-sandaran (sanad-sanad) ketiga hadits dalam kedua kitab tersebut itu. Apakah karena demikian maka golongan yang pertama tadi berpendapat bahwa kata-kata rangkaian “Ahli Sunnah wal Jama’ah” itu tiada terdapat di zaman Nabi itu sehingga mereka tidak taiqah akan kebenaran hadits-hadits itu?
Saya kira hal ini perlu dan penting menjadi penyelidikan para ulama kita. Apakah hadits-hadits tersebut itu sah atau tidak. Terdapatlah dalam kitab hadits, misalnya dalam “Kutubus-sittah”?
Pada golongan pertama rangkaian kalimat “Ahli Sunnah wal Jama’ah” itu, adalah serangkaian kalimat yang dijadikan suatu istilah oleh para ulama sesudah Nabi saja. Golongan pertama ini, berkata bahwa kemungkinan istilah “Ahli Sunnah wal Jama’ah” itu dimulaikan orang pada akhir windu kelima tahun Hijriyah, yaitu tahun terjadinya “Kesatuan Pemerintahan Islam” atau “Aamul Jama’ah”; ialah atas kerelaan, keikhlasan daan keluasannya dada S. Hasan bin Ali r.a. sebagai Kepala Pemerintahan Islam pada waktu itu, beliau menyerahkan dan mensatukan pemerintahan dibawah pimpinannya kepada pemerintahan di bawah pimpinan Mu’awiyah r.a., demi untuk perdamaian dan kesatuan pemerintahan Islam pada waktu itu, dengan syarat dan asal saja katanya dihentikannya mencaci dan mecela-cela bagi ayahandanya S. Ali r.a. sehingga tahun ini oleh sejarah dinamailah “ ‘Aamul-Djamaah” (Tahun Kesatuan).
Pada waktu Agama Islam dengan cepatnya menyebarluaskan ke utara dan ke selatan juga ke sebelah timur dan barat, dan pada waktu itu fikiran-fikiran dan falsafah Yunani dibawa orang dan mempengaruhi juga bagi I’tiqad kaum Muslimin, maka diadakanlah usaha-usaha ke arah memurnikan kembali ‘Aqidah Islamiyah, janganlah sampai bercampur aduk dengan falsafah dan ‘aqidah Yunani itu. Gerakan usaha ini terjadi pada akhir abad ke 3 (tiga) Hijriyah, yaitu suatu gerakan yang diusahakan oleh tokoh-tokoh para ulama ilmu tauhid, ilmu ushuluddin yang dikepalai oleh Abdul Hasan Ali bin Ismail Al – Asy’ari dan Abu Mansyur Al – Maturidi. Maka pada waktu itu, diadakanlah peninjauan kembali mengenai I’tiqad Islam ini dan diadakannya saringan yang cermat dan teliti, sehingga dapatlah diadakannya suatu pembatasan (demarkasi) antara akidah yang dibenarkan oleh Islam dengan yang tidak. Golongan Muslim yang mengikuti I’tiqad kedua pimpinan ulama itulah, dinamakan golongan “Ahli Sunnah wal Jama’ah” Sedang golongan-golongan lainnya, ialah yang dinamai Mu’tazilah, Jabariah Qadariah, Khawarij, Syi’ah dan lain-lain sebagainya yang Insya Allah akan lebih jauh diuraikan nanti.
Berkata Ibnu Subki :
“Imam Abdul Hasan Al – Asy’ari sendiri, tadinya termasuk seorang tokoh Mu’tajilah, yaitu suatu golongan yang dikepalai oleh Abi Ali Al – Djaba’i. Kemudian ia keluar dari golongan Mu’tazilah tersebut dan menyadari akan kesalahannya. Abdul Hasan Al – Asy’ari ini menjadi juru debatnya Al – Djaba’i, sebab Al – Djaba’i sendiri keahliannya istimewa dalam karang mengarang, kuranglah keahlian dalam debat mendebat (munazharah). Pada suatu ketika Abdul Hasan Al – Asy’ari mimpi bertemu dengan Rasulullah saw hingga tiga kali. Kepadanya Rasulallah berkata : “Hai Ali, tolonglah olehmu mazhab yang datang dari padaku!”
Karena itu ia berfikir dan kemudian ia berkhalwat di dalam rumahnya selama lima belas hari dan kemudian ia keluar serta mengadakan pernyataan kepada orang banyak pada waktu itu, bahwa ia telah keluar dari mu’tazilah dan ajaran-ajarannya. Ia mengambil dan menghimpun ajaran-ajaran dari para ulama tauhid yang dipandang langsung dari ajaran Rasulallah SAW.
Selanjutnya Ibnu Subki berkata: ”Sesungguhnya Al-Asy’ari tidaklah membikin-bikin akan pembicaraan mengenai aqidah ini, yang cocok dengan sunah semata-mata.”
Setelah itu, ia (Imam Al-Asy’ari) berusaha keras bersama para pengikutnya menentang paham mu’tazilah tersebut diantara para pengikutnya itu, terdapat beberapa ulama besar, seperti: Imam Ghazali, Imam Abul Hasan Bin Faurak, Imam Fakharurraji, Al – Qadli Abu Bakar, Al – Baghilany dan lain-lain.
Golongan ini, bertambah maju banyak pengikutnya serta semakin meluas dan kemudian dinamakan orang golongan ini dengan ”Ali Sunnah Wal Jama’ah”.
Mazhab Mu’tazilah, yang ajarannya semata-mata berdasarkan akal dan terpengaruh oleh falsafah Yunani itu ditolak dengan kerasnya oleh “Ahlus sunnah Wal Jama’ah” ini.
Perlulah diingat bahwa golongan ”Ahlu Sunnah wal Jama’ah” itu seperti telah diuaraikan tadi, adalah golongan mereka yang berpaham dan mengikuti Imam Abul Hasan Al – Asy’ari dkk. Dalam persoalan I’tiqad persoalan ketuhanan (ilmu tauhid). Dan kemudian dipinjam juang menjadi istilah dalam soal ilmu fiqih dan mazhabnya (ilmu furu’).
Perkataan Mu’tazillah atau golongan mu’tazilah terdapat sejak permulaan abad kedua hijriah. Seorang ulama besar Tabi’in, Imam Bashri (wafat tahun 116 H). Berselisih pendapat dengan seorang muridnya yang bernama Washil bin Atha (wafat tahun 131 H). Mengenai hukum seorang muslim yang mengerjakan dosa besar, apakah ia kafir atau mukmin. Washil bin Atha berpendapat, bahwa orang semacam iti, hukumnya tidak mukmin dan tidak kafir, tetapi di tengan-tengah dan diantara kedudukan itu.
Oleh karena pendapatnya Washil bin Atha demikian itu, maka ia diasingkan (I’tizal) dari kalangan semua kawannya. Kemudian menimbulkan gelaran dan istilah ”Mu’tazilah” Bagi golongan Washil bin Atha dan para pengikutnya itu.
Dalam hal ini, haruslah diingat pula sebagaimana telah disebutkan diatas tadi, bahwa golongan ”Ahli Sunah Wal Jama’ah” timbul pada akhir abad ke-3, yakni dikala diusahakannya kemurnian kembali Aqidah Islamiah, sedang istilah dan golongan Mu’tazilah sudah timbul pada awal abad ke-2. Artinya, jika kita melihat ini, istilah Mu’tazilah itu lebih tua dan lebih dahulu 200 tahun dari “Ahlus Sunah Wal Jama’ah”.
Mu’tazilah berpendapat (beri’tiqad) diantara lain : ”Perilaku manusia itu, terlepas dari takdir Allah manusia itu sudah diberi kekuasaan dan kebebasan sendiri untuk menentukan sesuatu dan berbuat sekehendak hatinya. Hal ini, untuk menjaga jangan sampai ada yang menyalahkan Allah SWT, karena ia telah mentakdirkan manusia itu berbuat jahat atau miskin dan sengsara”.
Sedang “Ahlus Sunnah Wal Jama’ah” berpendapat (ber’itiqad), bahwa segala sesuatu itu atas takdir Allah SWT. Tidaklah manusia itu akan memperbuat sesuatu jika tidak ditakdirkan oleh Allah SWT. Tiap kebaikan dan kejahatan seseorang itu atas kodrat dan irodat Allah SWT. Hanya manusia itu wajib kasab dan ikhtiar. Dan kasab dan ikhtiarpun juga takdir dari Allah SWT.
Manusia menjadi seorang yang taat atau menjadi seorang yang maksiat kepada Allah itu takdir Allah. Dia wajib berikhtiar, agar dirinya menjadi seorang yang taat kepada Allah, sebab ia tidak tahu akan hakekat takdir Allah itu. Kemudin setalah ia menjadi seorang yang taat, ia akan merasa banyak syukur kepada Allah SWT yang telah mentakdirkan dia menjadi seorang yang taat dan ibadat.
Seorang sahabat bertanya kepada Rasulallah saw : “Ya Rasulallah, mengapa tuan banyak benar mengerjakan ibadat dan beristighfar, padahal tuan telah dijadikan Tuhan ahli syurga?“ Jawab Rasulullah SAW : “Karena aku sangat merasa syukur kepada Allah SWT. Firman Allah :
قل كل من عندالله
Artinya:
“Katakanlah olehmu hai Muhammad, segala sesuatu itu dari Allah.”
Baik dan buruk dari Allah. Taat dan Maksiat dari Allah. Demikian ini sendi iman yang ke-enam.
- Iman kepada Allah
- Iman kepada Malaikat
- Iman kepda Kitab Allah (Al-Qur’an)
- Iman kepada Rasul Allah
- Iman kepada Hari kiamat dan
- Iman kepada takdir Allah, baik dan buruk semuanya dari Allah, tetapi semuanya itu wajib kasab dan ikhtiar.
Adalah soal adab, sangat kurang adab dan diharamkan oleh agama dan syara’, apabila seseorang berkata bahwa “Ia tidak mengerjakannya sembahyang ini juga takdir dari Allah”. Meskipun pada hakikatnya memang demikian. Tetapi karena manusia itu diperintahkan Allah kasab dan ikhtiar, maka haramlah baginya dan sangatlah kurang/tidak mempunyai kesopanan sama sekali, apabila berkata “Saya tidak bersembahyang ini, atau saya mengerjakan kejahatan begini ini adalah dari takdir Allah juga” Manusia itu telah diberi akal untuk memilih dan memisah sesuatu yang baik dan yang buruk.
“Ahli Sunnah wal Jama’ah” berpendapat, bahwa memang segala sesuatu itu, adalah dari dan takdir Allah SWT, hanya saja kita diwajibkan kasab dan ikhtiar. Kita tidak mengetahui hakikat qudrat dan iradat Allah, sebelum sesuatu itu terjadi. Dan karena itu, kita wajib mempunyai adat dan kesopanan terhadap Allah SWT kita hendaknya mengatakan yang baik-baik itu dari Allah dan yang jahat itu karena perbuatan kita sendiri, meskipun hakekatnya dari Allah juga.
Firman Allah :
مَآ اَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّٰهِۖ وَمَآ اَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَّفْسِكَۗ وَاَرْسَلْنٰكَ لِلنَّاسِ رَسُوْلًاۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ شَهِيْدًا
Artinya :
“Mana-mana yang mengenai dirimu dari sesuatu kebaikan itu, adalah dari pada Allah, dan mana-mana yang mengenai dirimu dari sesuatu kejahatan itu, adalah dari perbuatan dirimu sendiri”. ( QS An-Nisa’ · Ayat 79)
Adapun I’tiqad Qadariyah diantara lain seperti yang diterangkan oleh Ibnu Subki dalam Kitabnya “Ath-Tabaqat” : “Bahwa Imam Syafe’i r.a. telah berkata : “Qadariyah itu, ialah yang pernah dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW” :
القدرية مجوس هذه الامة هم الذين يقولون ان الله لا يعلم المعاصى حت تكون.
Artinya:
“Qadariyah itu adalah Majusinya umat sekarang ini, ialah mereka yang berkata, bahwa Allah tidak mengetahui akan maksiat sehingga maksiat itu ada (terjadi)”.
Artinya, adanya maksiyat itu, bukanlah ditakdirkan Allah, semata-mata perbuatan manusia saja.
Api itu katanya sudah diberi kekuatan oleh Allah SWT untuk menghanguskan sesuatu. Pada waktu hangusnya sesuatu itu, tidak membutuhkan lagi akan takdir (qudrat) dari Allah, sebab sudah diberi qudrat pada mulanya. Pisau itu tajam, sudah diberi kekuatan oleh Allah untuk mengerat (memotong) sesuatu. Pada waktu sesuatu itu terkerat / terpotong, tidak memerlukan lagi akan takdir dari Allah.
Kaum Jabariah beri’tiqad: ”Bahwa kita manusia ini katanya lakasana bulu ayam yang digantung dengan sesuatu benang dan ia berarah dan menuju bagaimana angin saja, angin dari barat ia ke timur. Angin dari timur ke barat; artinya, bagaimana takdir Allah saja, dan tidak ada / perlu kasab dan ikhtiar lagi bagi kita manusia ini.”
“Ahli Sunah Wal Jama’ah” beri’itaqad, bahwa api itu adanya (biasanya) saja dapat menghanguskan sesuatu. Tetapi sah dan boleh jadi juga menyalahi adat kebiasaan itu, sebab pada waktu api menyentuh sesuatu itu, harus dengan takdir Allah, juga apakah sesuatu itu hangus atau tidak. Terkerat atau terpotongnya sesuatu itu harus dengan takdir Allah juga.
Biasanya api itu menghanguskan, tetapi Nabi Ibrahim a.s. ketika ia dibakar dalam api yang menjadi-jadi demikian besar, tidaklah Nabi Ibrahim itu hangus, sebab tidak ditakdirkan hangus oleh Allah SWT dan Allah berfirman : “Ya naaru kuuni bardan wasalaman ‘ala Ibrahim”, ”Wahai api, jadilah engkau dingin dan menyelamatkan Ibrahim”.
لا تأثير لشئ من الكا ئنات بقوته او طبعه.
Artinya:
“Tidak memberi bekas apa-apa bagi sesuatu dari segala mumkinat (makhluk) itu dengan kekuatannya atau dengan thabi’atnya.”
لا حول ولا قوة الا بالله العلى العظيم.
Artinya:
“Tidak ada daya dan kekuatan apa-apa, kecuali dengan pertolongan qudrat Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung.”
Seseorang takut kepada hantu, itu suatu I’tiqad dan keyakinan yang salah dan tidak benar. Wujudnya samar-samar. Hanyalah suatu kepercayaan yang gaib yang tidak menentu wujudnya. Kita wajib takut pada Allah saja, segala sesuatu tidak memberi darurat atau manfaat, kecuali ijin dan takdir Allah.
Apabila seseorang takut kepada harimau dan harimaunya nampak terlihat atau memang benar-benar karena dia berada ditempatnya harimau dan sehingga karenanya dapat menerkam dia, takut semacam itu tidak salah dan benar, sebab pada adanya, pada biasanya harimau itu suka menerkam orang dan memberi madarat.
Seseorang memelihara burung perkutut, dia mempunyai I’tiqad dengan itu dia ingin menjadi kaya, sebab burung tersebut mempunyai tanda-tanda dan ciri-ciri yang khas yang dapat membawa kaya, katanya kepada seseorang yang memeliharanya.
Kepercayaan semacam ini, kepercayaan yang salah dan dapat menjadikan musyrik. Ciri-ciri yang khas dari burung perkutut itu, kata siapa. Hanya suatu kepercayaan yang ghaib, yang tidak benar, suatu kepercayaan yang bukan dari agama Islam. Nabi Muhammad SAW belum pernah memberi penerangan semacam itu. Kepercayaan semacam itu, mungkin dari agama lain, Hindu atau Budha, sisa-sisa dari agama nenek moyang kita dahulu sebelum Islam datang.
Kalau seseorang ingin menjadi kaya, kemudian ia bekerja keras dan rajin serta ‘itiqad (hemat) dan tadbir dalam menggunakan hartanya disertai dengan banyak berdoa kepada Allah mohon petunjuk, itulah yang benar. Jika kebetulan ia menjadi seorang yang kaya, banyak-banyaklah syukur ia kepada Allah pergunakanlah harta kekayaannya dengan baik menurut petunjuk agama Islam, jadikanlah harta kekayaannya itu untuk membela dirinya, keluarganya, tetangganya, masyarakat sekeliingnya, bangsa dan negaranya, dan sebagaian lagi jadikanlah untuk turut membela kejayaan agamanya. Jika kebetulan tidak juga menjadi kaya, hendaklah bersabar dan bertahan serta ketahuilah, bahwa segala sesuatu itu dari pada Allah SWT jua.
Orang menanam pohon pacing di setiap penjuru sawahnya, agar sawahnya itu menjadi lebat berbuah dan menghasilkan banyak.
Orang menanam azimat dari lafazh-lafazh, atau wafaq di penjuru sawahnya, agar babi atau hama lainnya tidak mau datang. Orang menyuguh dengan ancak-ancak kecil yang berisi kueh-kueh dan biasanya ditambah dengan telur barang sebutir agar hajatnya (kenduri) dan sedekahnya berekat. Kepercayaan dan perbuatan semacam semua itu, salah dan dapat membawa kemusyrikan bagi seseorang yang memperbuatnya (mengerjakannya). Sebab semua kepercayaan itu tadi, bukan kepercayaan yang berasal dari agama Islam. Seseorang itu tadi, pasti sedikitnya mempunyai sangkaan, sekali lagi sedikitnya mempunyai sangkaan, bahwa untuk berkatnya, sedekahnya itu atau agar hasil sawahnya itu menjadi lebih banyak, dia mempunyai sangkaan ada kekuasaan yang gaib selain Allah yang akan menolong dia .
Kalau orang ingin sawahnya berhasil baik, kerjakanlah sawahnya dengan rajin menurut ilmunya. Cukuplah sawahnya dengan rabuk sesuai dengan petunjuk jawatan pertanian, kemudian berdoalah dan mohon pertolongan kepada Allah SWT sebagai seseorang Islam .
Seseorang perempuan hamil, ia akan bepergian tertutama bepergian di waktu malam, haruslah ia membawa pisau kecil, agar ia selamat.
Kalau seorang perempuan melahirkan anak laki-laki, haruslah dibikinkan keris-kerisan dari selupak pinang (upih) dan dicoret-coret dengan kapur, ini katanya untuk menolak hantu (kuntili) datang yang suka sekali mengganggu si anak (baji) kecil itu dan maaf…… suka sekali kuntili itu katanya makan biji kemaluan anak kecil .
Kalau kamu bikin rumah, harus menghadap kesana katanya sebab nama kamu si Fulan sedang istrimu si Fulanah, yang setelah dijumlahkan waktu kedua nama kamu laki istri menjadi sekian, maka kamu berumah harus menghadap kesana, agar rumah tangga kamu bahagia, baik, awet dan menjadi kaya.
Karena baru saja kita panen, nanti pada hari anu tanggal sekian, harus sedekah meruat bumi tanda kita berterimakasih. Pada hari yang telah ditentukan, seahli kampung berkumpul, di masjid, laki-laki, perempuan, tua muda. Mereka memotong kerbau hasil iuran bersama-sama. Mereka makan minum bersama-sama dan baca doa minta berkat dan selamat. Sisa makanan berupa nasi dan daging yang karena tidak habis dimakan, atau mungkin sengaja disisakannya, dilarang (pantang) dibawa ke rumah mereka masing-masing, tetapi harus dimasukkan kedalam cubluk dihadapan atau di samping masjid itu yang memang sudah digali mereka, sediaan guna menanam sisa-sisa makanan tadi.
Pada setiap tahun, laut disana harus diruat harus dirajakan, arak-arakkan dan iring-iringan ketengah dengan sepuluh perahu yang serba dihias, dan pada waktu di tengah lautan dibuangnya kepala kerbau maksud ini agar para nelayan selamat, yang selalu mendapat hasil ikan yang banyak, katanya.
Ada juga orang beramai-ramai “ziarah” katanya ke suatu kuburan yang tertentu. Kepergian ziarah ini tidak perduli mengeluarkan uang yang banyak, mereka menyewa kendaraan hingga puluhan ribu rupiah. Apa maksud di sini? Selain ziarah di suatu kuburun wali, tapi disana mereka akan mengadu untung, mereka mengodok lubang, jika dari lubang itu ia mendapat padi, maka ia akan menjadi kaya dari tani, dan jika ia dari lubang itu mendapat uang, ia akan menjadi kaya karena dagang.
Pada waktu mengkhitan anak (biasanya jika anak laki-laki) disediakan juga seekor ayam untuk disembelih, buat bela katanya persis kepada pisau dikeratkan pada anggota anak yang dikhitan itu, ayampun harus berbareng disembelih juga. Ini namanya “Bela”. Buat bela /membela apa? Kebanyakan malah, semua orang tidak tahu, hanya mengikuti saja jejak orang-orang tua.
Ada lagi di sebagaian tempat / negeri, suka melepas binatang, misalnya ayam di pekuburan atau tempat-tempat yang angker/herit, katanya karena anaknya sudah lama kena sakit sudah bertahun-tahun, jadi minta-minta supaya anak itu lekas sembuh.
I’tiqad dan kepeercayaan-kepercayaan semacam di atas ini dan banyak lagi modelnya, tidaklah dibenarkan oleh islam dan dapat menjadikan musyrik.
Hendaknya kita berhati-hati. Dan inilah sebenarnya bagi mubaligh-mubaligh Islam, masih banyak sekali yang menjadi kewajiban mereka lebih dalam aqidah dan tauhid ini.
Musyrik itu, bukannya hanya bagi seseorang yang menyembah berhala semata-mata, atau menyembah matahari misalnya, tetapi juga bagi seseorang yang menyembah Alah SWT, tetapi dia mensekutukan bagi Allah, seperti dia mempunyai I’tiqad, bahwa ada kekuasaan lain selain dari kekuasaannya Allah. Soal-soal yang besar ia serahkan atas kekuasaan Allah, tapi keberkatan penghasilan padi diserahkan kepada kekuasaan lain, karena itu ia tanam pohon pacing di sudut sawahnya. Keberkatan hajatannya ia serahkan kepada kekuasan lain, karena itu ia nyuguh makanan dengan ancak-ancak kecil di setiap ujung kampung.
Orang-orang semacam ini betul ia Islam sebab ia percaya kepada Allah dan juga beribadah sembahyang puasa dan lain pekerjaan ibadah ia mengerjakannya. Tetapi pada waktu ia mempunyai hajatan atau waktu menanam padi, dia mempunyai kepercayaan lain, yaitu mempunyai kepercayaan yang gaib (entah apa) yang menemani Allah Ta’ala dalam memberkatan padinya atau hajatnnya. Ini namanya dalam bahasa arab “syarik” atau bahasa kita “teman” bagi Allah orang yang menjadikan syarik bagi Allah itu namanya “musyrik” Na’uzubillah.
Jadi orang yang semacam itu, memang muslim, tapi sewaktu-waktu ia menjadi musyrik. Mu’azallah. Berlindung kita kepada Allah dari perbuatan syarik ini.
Firman Allah :
ان الله لا يغفر ان يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء. (النساء: ١١٢)
Artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni bagi orang yang mensyarikatkannya (musyrik) dan (tetapi) dapat mengampuni bagi orang yang tidak mensyarikan-Nya bagi siapa yang dikehendakinya (berdosa selain syirik)”.
ولئن سألتهم من خلق السموات والارض ليقولن الله.
Artinya:
“Dan jika kamu tanya mereka, siapakah yang membikin langit dan bumi dan yang menundukan matahari dan bulan, maka tentulah mereka menjawab, yaitu Allah”.
Kedua ayat diatas ini dapat kita ketahui, yang pertama menunjukan, bahwa Allah tidaklah memberi ampun bagi orang yang musyrik, dan dapat memberi ampunan bagi orang yang hanya berbuat dosa besar sekalipun. Ayat kedua menunjukkan bahwa, orang musyrik itu tahu, bahwa yang membuat langit dan bumi iti Allah, hanya Dia (mereka) tiada beribadat kepadanya (Allah).
Seseorang menyembah Allah dan ia tahu yang membuat langit dan bumi itu Allah, tetapi dia membikin syarik kepada Allah, dia membikin andaad membikin teman, membikin sekutu kepada Allah.Yaitu kalau soal keberkatan menanam padi seolah-olah harus dibantu oleh pohon pacing, untuk keberkatan dan keselamatan sesuatu harus memberi suguhan dengan ancak kecil di waktu kenduri. Untuk keselamatan dan keberkahan harus dibantu dengan melepas ayam di pekuburan dan sebagainya.
Sebenarannya kalau soal furu’, soal fiqih itu tidak membahayakan berselisih di dalamnya. Khilafiah dalam fiqih itu sejak jaman sahabat telah ada ada terjadi dan selamanya tidak akan hilang. Khilafiah dalam fiqih itu dibenarkan oleh agama Islam, selama yang memfiqihkan adalah para ulama ahli (mujahidin yang mendapat wewenang dari agama untuk ijtihad). Serta khilafiah fiqih itu bukan untuk diperdebatkan atau guna permusuhan satu sama lain malah khilafiah fiqih itu, harus dipandang suatu kelapangan dan keluasan bagi seseorang dalam beragama. Kita boleh beramal menurut paham muztahid Syafi’i misalnya tetapi jangan mencela amal seseorang yang mengikuti pahamnya muztahid Maliki, meskipun kedua paham dan kedua muztahid dalan masalah yang sama itu tidak bersamaan. Kalau Imam Syafi’i seorang ulama, Imam Malikipun seorang ulama pula. Hormatilah dan ta’jimkanlah para ulama yang sekalipun tidak kita ikuti paham (mazhab)nya, sebagai kita menghormati para ulama yang kita ikuti paham (mazhab)nya. Sebab kesemua ulama itu “Warasatul Anbiya”, penerang dunia dan akhirat. Mereka sama-sama atas petunjuk dari Tuhan mereka. Ulaa-ika ’ala hudan minrabbihim.
Sekali lagi kami garis bawahi perkataan diatas, bahwa khilafiah dalam fiqih itu dibenarkan oleh agama selama yang memfiqihkan itu para mujtahidin, yakni para ulama yang mendapat wewenang (cukup syarat) untuk berijtihad.
Tetapi kalu soal pokok, masalah aqidah, masalah tauhid, masalah ushuluddin, tidak boleh sama sekali menyimpang, apa pula disimpang-simpang. Sebab kalau seseorang menyimpang dari aqidah dan kepercayaan yang digariskan oleh agama Islam (yaitu yang telah menjadi gagasan Imam tauhid, Imam Asy’ari dan Imam Maturidi seperti telah disebut di atas, sejarahnya – sejarah Ahli Sunah wal Jama’ah), Dia akhirnya akan menjadi musyrik mensekutukan kepada Allah, Na’uzubillah.
Contoh yang pertama :
Seseorang ibu melekatkan kalung hitam (biasanya terbuat dari benang kanteh) pada leher anaknya yang masih kecil. Dalam hatinya, ia berfikir agar anak itu tidak terkena sakit cacing. Dalam hatinya ia mempunyai harapan, kalung itu akan menolak dari penyakit cacing terhadap anaknya. Meskipun ia beri’tiqad bahwa ini sekedar syariat saja katanya artinya sekedar usaha, pada hakekatnya dia mengharapkan penolakakan penyakit cacing dari Allah, tetapi dalam hatinya terselip bahwa sedikitnya kalung itu memberi Atsar (bekas) menghilangkan penyakit cacing tersebut. Seolah-olah si kalung itu diberi kekuasaan oleh Allah sedikit dapat menolak penyakit cacing itu, atau seolah-olah Allah bersekutu dengan kalung dalam menolak penyakit cacing dari si anak tadi.
Contoh kedua :
Kalau si ibu itu tidak ada sama sekali kepercayaannya, bahwa kalung itu sedikit juapun tidak memberi bekas (atsar) apa-apa bagi penyakit cacing itu, ia bulat percaya, bahwa Allah sajalah yang memberi baik, atau sakit terhadap anak itu. Ia melekatkan kalung hitam pada leher anak itu, hanya turut-turut orang saja.
Kepercayaan dan I’tiqad yang pertama si ibu itu menjadi syirik. Dan perbuatan ibu yang kedua itu haram hukumnya, terlarang oleh agama, sebab ia berbuat dengan satu perbuatan yang tidak dilakukan/disuruh oleh Allah dan Rasulnya. Tidak pernah Nabi berbuat demikian. Belum pernah Nabi kita melekatkan atau menyuruh melekatkan kalung yang berwarna hitam itu kepada anaknya S. Fatimah r.a. Belum pernah Nabi kita membiarkan orang melekatkan kalung hitam pada leher anaknya untuk menolak suatu penyakit. Belum pernah ada sejarah mengatakan seseorang sahabat yang berbuat demikian.
Bawalah si anak itu kepada dokter untuk diobati penyakitnya atau berilah si anak itu minum dengan obat menurut keterangan yang ahli. Karena berobat dan mengobati sesuatu penyakit, diperbolehkan oleh agama Islam.
Pengarang kitab “Bughyatul Mustasjidin” telah menulis mengenai mazhab-mazhab dan golongan-golongan yang berkenaan dengan aqidah ini. Beliau nukilkan dari kitab “Maarizul Hidayat” karangan Al-Allamah Al-Muztahid Al-Syeh ‘Ali bin Abibakar Al-Saggaf Al-Alawij (Rahimahumullah). Berkata Ma’arizul Hidayah :
“Fashlun”, hendaklah anda berhati-hati dari bermacam bid’ah dan pemeluk-pemeluknya. Dan berantaslah bid’ah itu, serta jauhilah pemeluk-pemeluknya. Janganlah sekedudukan dengan mereka. Ketahuilah bahwa pokok dari macam-macam bid’ah dalam ilmu ushul sebagai yang diterangkan para ulama itu, kembali kepada tujuh pokok :
1.Mu’tazilah, ialah mereka berpendapat, bahwa amal perbuatan manusia itu, adalah perbuatan dan amal mereka berpendapat bahwa ru’yatul muminin (melihatnya muminin di surga) kepada Allah tidak ada. Mereka mewajibkan pahala dan siksa. Mereka itu ada dua puluh golongan
2.Syi’ah, ialah mereka yan mencintai kepada Sayidina ‘Ali r.a. dengan cinta yang berlebih-lebihan. Mereka terdiri dari dua puluh dua golongan.
3.Khawarij, ialah mereka yang membenci Sayyidina Ali r.a. dengan kebencian yang berlebih-lebihan, sehingga mengkafirkannya dan memandang kafir bagi orang yang berdosa besar.
4.Murji’ah, ialah mereka yang berpendapat, tiada mengapa berbuat maksiat, jika disertai iman dan tidak berarti apa-apa taat jika disertai kufur. Mereka ini berjumlah lima golongan.
5.Najariyah, ialah mereka yang berpendapat bersamaan dengan pendapat “Ahli Sunnah wal Jama’ah” dalam amal dan perbuatan manusia (artinya dengan takdir Allah) dan sependapat dengan Mu’tajilah dalam menafikan sifat-sifat Allah dan Kalamullah itu hadits. Mereka itu tiga golongan.
6.Jabariyah, ialah mereka berpendapat bahwa tidak ada ikhtiar dari manusia, sebab Tuhan sudah lebih dahulu menentukan sesuatu. Mereka itu satu golongan saja.
7.Musyabbihah, ialah mereka berpendapat, bahwa Allah itu serupa makhluk juga berjisim dan hulul (bersatu dengan makhluk). Mereka itu satu golongan saja.
Sehingga semuanya berjumlah 72 golongan. Adapun golongan (mazhab) yang najiyah (yang selamat) ialah merek “Ahlus Sunnah al- Baidla-u-al Muhamadiyah wath-thariqatun Nagiyah” Ahli sunnah yang bersih putih yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW dan perjalanan yang suci bersih.