TERJEMAH TAFSIRIYAH AL-QURAN DAN HADIS SHAHIH BUKHARI

Rabu, 23 Oktober 2024/19 Rabi’ul Akhir 1446

A. QS 2 JUZ 2. QS AL-BAQARAH,143-254 Lanjutan

PesangonnJanda Kembang

  1. Wahai.para suami, kalian tidak berdosa menceraikan istri-istri kalian yang belum pernah kalian senggamai, dan kalian belum menetapkan maskawinnya. Akan tetapi kalian harus memberikan pesangon kepada istri yang.kalian ceraikan sesuai dengan kemampuan kalian. Bagi yang kaya sesuai dengan kekayaannya, dan bagi yang miskin sesuai dengsn keadaaanya. Pemberian pesangon itu hendaklah dalam jumlah yang wajar. Itulah syariat Allah
    bagi orang-orsngyang mau taat kepada-Nya.

237.Wahai para suami, jika kalian menceraikan isteri sebelum kalian senggamai, tetapi kalian telah menetapksn maskawinnya, hendaklah kalian berikan separo dari yang telah kalian tetapkan, kercuali kalau bekas istri atau walin erempuan itu membebaskan kalisn..Wahai bekas isteri atau walinys, jika kalian membebaskan pembayaran maskawin itu, maka ha.l itu lebih dekat kepada sikap taat kepada Allah. Wahai para bekas suami isteri, jsngsnlah kalian melupakan kebsikan di antara kalia n selama menjadi suami isteri.Sungguh Allah Maha Mengawasi baik atau buruk niat kalian nercerai. (Bersambung)

B.HADIS SHAHIH BUKHARI

545.Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. perkara qunut. Ia menjawab, “Dapat dipastikan bahwa qunut itu ada (dibaca).” Ditanyakan padanya, ” (Dibaca) sebelum ruku’ atau sesudahnya?” Anas menjawab, ” sebelum ruku’.” Aku menambahkan,” si fulan bercerita kepadaku bahwa Anda memberitahhu dia qunut dibacakan setelah ruku,.” (bersambung).

mt/u/uf

Khithah Mathla’ul Anwar

KATA PENGANTAR

الحمدلله والصلاة والسلام على رسو ل لله وعلى اله وصحبه ومن تبع هداه ( امابعد )

Buku Khithah Mathla’ul Anwar yang ada dihadapan bapak, saudara dan para pembaca yang budiman, adalah berasal dari makalah yang disajikan oleh KH. Abdul Wahid Sahari, MA dalam seminar sehari yang diselenggarakan oleh PB. Mathla’ul Anwar di komplek Universitas Mathla’ul Anwar di Cikaliung – Saketi -Pandeglang pada tanggal 30 Juli 1995 M.


Makalah tersebut telah mendapat perhatian para peserta yang terdiri dari para kiyai, cendikiawan dan para anggota Majlis Fatwa Mathla’ul Anwar serta para tokoh dan simpatisan Mathla’ul Anwar. Secara garis besarnya makalah itu telah diterima dengan baik, dengan beberapa perubahan redaksi.
Untuk pelaksanaan perbaikan makalah tersebut, PB Mathla’ul Anwar telah menunjuk Tim Perumus dengan surat keputusan PB Mathla’ul Anwar No. 180/SK/PBMA/X/1995 M tertanggal 25 Oktober 1995 yang terdiri dari :
1. KH. Abdul Wahid Sahari, MA – Ketua
2. KH. Uyeh Baluqia Syakir- Anggota
3. KH. Bai Ma’mun – Anggota
4. KH. Abdul Hadi Mukhtar – Anggota
5. KH. Drs. Ali Afandi – Anggota

Maka pada tanggal 19 November 1995 Tim Perumus al-hamdulillah telah melaksanakan tugasnya dengan mengadakan sidang perumusan bertempat di sekretariat PB Mathla’ul Anwar di Jakarta. Tim Perumus telah menerima saran dan masukan dari para peserta sidang tentang perbaikan isi dan redaksi makalah tersebut, maka keluarlah buku Khithah Mathla’ul Anwar seperti yang ada sekarang ini.
Kami menyadari Khithah Mathla’ul Anwar ini masih perlu disempurnakan baik isi maupun redaksinya, namun sebagai pedoman dan dasar pijakan serta arahan bagi para aktivis dan warga Mathla’ul Anwar serta para simpatisan, buku khithah Mathla’ul Anwar cukup menjadi rujukan bersama.
Kami segenap anggota Tim Perumus tidak lupa menghaturkan banyak terima kasih kepada PB Mathla’ul Anwar yang telah mempercayakan kepada kami untuk melaksanakan tugas yang cukup berat ini, sehingga buku khithah Mathla’ul Anwar ini hadir dihadapan kita. Begitu juga kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran terbitnya buku ini kami menghaturkan banyak terima kasih.
Akhirnya kepada Allah jualah kita bersyukur atas selesainya tugas mulia ini, semoga Allah SWT tetap memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua dan memberikan rahmat serta maghfirah-Nya. Amin.


Jakarta, 19 November 1995 M
Ketua Tim Perumus

Ttd.


KH. Abdul Wahid Sahari, MA




MUQODDIMAH

اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِى اَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ اِلَى جَمِيْعِ الْبَشَرِ, وَالصَلاَةُ وَالسَّلاَمُ على سَيِّدِنا مُحَمَّدٍ خَيْرِ مَنْ بَشّرَ وَحَذَّزَ وَعلى آلهِ وَصَحْبِهِ وَالتَابِعِيْنَ لَهُمْ الَّذِيْنَ اَحَيَوْا السُنَّةَ وَاَما تُوا الْبِدْعَةَ وَالشَّرَ وَمَنْ نَـهَجَ نَـهْجَهُمْ مِنْ عَامَةِ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَاَصْحَابِ جَمِيْعَةِ مَطْلَعِ الاَنْوَار، (اما بعد) :
Mathla’ul Anwar sebagai organisasi kemasyarakatan yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah dan sosial, beraqidah Islam sepanjang tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah serta ittifaq sahabat, yang telah berdiri sejak awal abad ke XX miladiyah, dimana pada saat itu kondisi kehidupan ummat dan bangsa dalam keadaan yang memprihatinkan. Kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan dibawah tekanan bangsa penjajah (Belanda) merupakan warna dari kehidupan masyarakat yang mayoritas (ummat Islam).
Dakwah Islam dilakukan oleh sekelompok kecil kiyai yang tidak terkordinir, berjalan secara sembunyi-sembunyi dibawah bayang-bayang intaian dan tekanan kaum penjajah. Sebagai efek logisnya masyarakat Muslim banyak yang tidak mendapatkan sinar ajaran Islam yang memadai. Aqidah bercampur dengan takhayul, ibadah berbaur dengan bid’ah dan syari’ah tercemar oleh khufarat merupakan warna keagamaan Islam bagi masyarakatnya.
Pendidikan dan pengajaran yang diselenggara kan oleh peme-rintah penjajah (Belanda) sebagai realisasi politik etisnya, tidak dapat menjangkau seluruh masyarakat, karena tujuan Belanda menyelengga-rakan pendidikan (sekolah) hanyalah untuk mencetak calon ambtenar (pegawai pemerintah penjajah) yang jumlahnya tidak perlu banyak. Sebagian besar masyarakat adalah buta aksara.
Mathla’ul Anwar terlahir ditengah masyarakat yang kondisinya sebagaimana tersebut diatas, terpanggil untuk mengadakan langkah perjuangan dalam rangka pengetahuan yang utuh dan menyeluruh de-ngan garis-garis pokok (khithah) sebagai berikut

1. Al-Qur’an sebagai sumber utama dan pertama dalam menggali ke-benaran iman dan ilmu pengetahuan.
2. As-Sunnah dari Rasulullah SAW sebagai pedoman operasional dalam kehidupan beragama Islam.
3. Ijma’ Shohabat merupakan rujukan pertama dalam memahami isi kandungan al-Qur’an dan as-Sunnah.
4. Ijtihad merupakan upaya yang sangat penting dalam menanggapi perkembangan sosial budaya yang selalu berkembang dikalangan ummat dan masyarakat
5. Mathla’ul Anwar bersikap tasamuh terhadap semua pendapat para ulama mujtahidin.

Untuk maksud tersebut diatas maka dibuatlah Khithah Mathla’ul Anwar sebagai pedoman warga MA dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.





BAB II
KHITHAAH MATHLA’UL ANWAR
I. Pengertian Khithah
Yang dimaksud dengan Khithah Mathla’ul Anwar adalah garis-garis yang dijadikan landasan oleh Organisasi Mathla’ul Anwar dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai ormas Islam yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah dan sosial
II. Fungsi dan Tugas Organisasi Mathla’ul Anwar
A. Bidang Pendidikan
Mencetak generasi Muslim yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai kholifah Allah di muka bumi untuk memba-ngun masyarakat, bangsa dan negaranya dalam rangka ibadah kepada Allah SWT. Karenanya Mathla’ul Anwar mendidik putra putrinya dengan :

1. Menanamkan dan memantapkan aqidah Islamiyah yang benar ;
2. ibadah-ibadah yang disyariatkan
3. pengetahuan keislaman serta berbagai disiplin ilmu dan skill yang berguna sesuai dengan tuntutan zaman.
4. kesadaran agar dapat hidup mandiri membangun lingkungan dan masyarakat serta membentengi diri dan lingkungannya dari pengaruh-pengaruh budaya negatif (yang bertentangan dengan ajaran Islam).

B. Bidang Dakwah
Mathla’ul Anwar sebagai ormas Islam menjalankan tu-gasnya dalam bidang dakwah yaitu melaksanakan “Amar ma’ruf nahi munkar” dengan memperhatikan kondisi dan sasaran yang akan dicapai sesuai dengan tujuan dakwah itu sendiri.

C. Bidang Sosial
Mathla’ul Anwar sebagai ormas Islam bergerak dalam bidang sosial dengan berbagai usaha dan cara yang Islami agar masyarakat terhindar dari kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan.

III. Landasan Operasional Organisasi Mathla’ul Anwar
A. Memahami kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits sebagai berikut :

1. Dalam bidang pendidikan

يرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (المجادلة : 11)
Artinya :
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di-antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengeta-huan beberapa derajat dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS : Almujadalah : 11 )

فَلَوْلاَ نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (التوبة : 122)
Artinya :
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengeta-huan mereka tentang agama dan untuk memberi per-ingatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepada-nya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya

2. Dalam bidang dakwah

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya :
Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. Mereka adalah orang-orang yang beruntung. (QS : Ali Imran : 104)

3. Dalam bidang sosial
a. Taat kepada para pemimpin yang beriman sete-lah taat kepada Allah dan Rasul Nya

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً (النساء : 59)


Artinya :
Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rasul (Nya) dan Ulul Amri diantara kamu. Kemu-dian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikan kepada Allah (Al-Qur’an) dan RasulNya (As-Sunnah) jika kamu benar-benar ber-iman kepada Allah dan Hari kemudian. Yang demi-kian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya (QS : An-Nisa : 59)
b. Bersatu dan berpegang teguh kepada Wahyu Allah

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا

Artinya :
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai (QS : Ali Imran : 103)

c. Tidak hidup bergolong-golongan dan memilah-milah dinul Islam
وَلاَ تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
Artinya :
Janganlah kamu menjadi orang-orang musyrikin, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka (QS : Ar-Rum : 31-32)
d. Tolong menolong dalam kebajikan dan takwa

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ (المائدة : 2)
Artinya :
Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran (QS : Al-Maidah :2)
e. Usaha bertahkim dengan syari’at Islam
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (النساء : 65 (
Artinya :
Maka demi Tuhanmu mereka (pada hakekat) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS : An-Nisa : 65)
f. Berjalan diatas الصراط المستقيم yaitu meng-ikuti sunnah Rasulullah dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin :
عَنْ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ : خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ I خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ : هَذِهِ السُّبُلُ لَيْسَ مِنْهَا سَبِيْلٌ إِلاَّ عَلَيْهِ شَيْطَان يَدْعُوْ إِلَيْهِ ثُمَّ قَرَأَ قَوْلُهُ تَعَالَى : ( إِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ، ذَلِكُمْ وَصَاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ (صحيح رواه أحمد والنساء )
Artinya :
Dari Ibnu Masud dia berkata : Rasul Allah SAW telah membuatkan satu garis kepada kami dengan goresan tangannya kemudian beliau bersabda : garis ini adalah jalan Allah yang lurus. Kemudian beliaupun membuat garis-garis dari sebelah kanan dan sebelah kirinya dan bersabda : Inilah jalan-jalan yang tidak terdapat satu jalanpun dari padanya melainkan ada syaitan yang meng-ajak kepadanya kemudian Rasulullah membaca firman Allah SWT yang artinya : “Dan ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu dipe-rintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa. (Hadits Shahih diriwayatkan oleh Ahmad dan An-Nasa’i)

وَقَالَ I : أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأْمُرُ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ ِبسُنَّتِى وَسُنَّةِ اْلخُلَفِاءِ الرَّاشِدِيْنَ اْلمَهْدِيِّيْن تُمْسِكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ. وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُورِ. فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه الترمذى وقال حسن صحيح )
Artinya :
Rasulullah SAW telah bersabda : Aku beri wasiat kepadamu agar tetap bertakwa kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Mulia, serta tetap mendengar perintah dan taat walaupun yang memerintahkan kamu itu seorang budak sahaya. Maka sesungguhnya orang yang masih hidup diantaramu nanti akan melihat perselisihan yang banyak maka wajib atasmu memegang teguh akan sunnahku dan perjalanan khulafa’ur Rasidin yang diberi petunjuk. Dan berpeganglah pada sunnah-sunnah itu dengan kuat, dan jauhilah olehmu bid’ah sesungguhnya semua bid’ah itu sesat. (Diriwayatkan oleh Tirmidzi, hasan shahih)

B. Mengikuti ahli sunnah wal jama’ah dalam aqidah (Usuluddin), Syariah, siasah (pemerintahan) dan ibadah (fiqh / Furu’uddin).
C. Memperhatikan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga organisasi “Mathla’ul Anwar”

BAB III

AHLUSSUNNAH WAL-JAMA’AH
1. Pengertian dan definisi Ahlussunnah Wal-Jama’ah

Banyak makna yang diberikan para ulama ten-tang arti kalimat “Ahlussunnah waljama’ah” sesuai dengan tinjauan berbagai disiplin ilmu. Namun disini akan diterangkan secara singkat sesuai dengan ruang lingkup pembahasan ini.
أهل السنة والجماعة terdiri dari tiga kata
Ø Ahl, yang artinya pengikut atau penganut (QS 2:109, 5:2)
Ø Assunnah secara bahasa artinya السيرة والطريقة yakni perikehidupan dan cara atau metode.)
Sedangkan secara istilah ialah :
“هِىَ الطَرِيْقَةُ الَتِي نَـهَجَهَا النَّبِيُ I فِى إَقْوَالِهِ وَأَفْعَالِهِ وَتَقْرِيْرَاتِهِ عَلَى وَجْهِ الْعَام”.

Artinya :
“Yaitu perjalanan hidup yang ditempuh Nabi Muham-mad SAW baik dalam ucapan, perbuatan maupun takrirnya secara umum”)
Ø Al Jama’ah secara bahasa mengandung beberapa arti
الاجتماع, yakni berkumpul lawan dari tafarruq (berpecah).
الجمع makna dari kumpulan / sekelompok manusia yang berkumpul dalam satu urusan.
الاجماع, yakni bersepakat dalam menetapkan sesuatu urusan
Ø Al Jama’ah secara istilah yaitu :
a. Jamaah sahabat, yaitu sebagian besar sahabat yang hidup masa Khulafaur Rasidin dimana mereka bersatu diatas haq / kebenaran dalam semua urusan, baik yang berkenaan dengan soal imamah, hukum, jihad maupun urusan-urusan agama serta urusan-urusan dunia lainnya.
b. Mereka para ahli Ilmu dan para imam teladan dalam urusan agama, dan para pengikut mereka yang disebut dengan “Thoifah Najiyah” (golongan yang selamat) yang akan masuk surga,) sebagaimana yang terkandung dalam makna Hadits

وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِى النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِى الْجَنَّةِ وَهِىَ الْجَمَاعَةُ (رواه أبو داود)
Artinya :
Dan sesungguhnya agama Islam itu akan berpecah menjadi 73 golongan, 72 golongan akan masuk neraka dan satu golongan akan masuk surga, yaitu Al Jama’ah (HR. Abu Daud, 4597 / 5 – 5,6).
c. Mereka yang berkumpul diatas haq atau kebe-naran dan tidak berpecah/berpaling dari padanya. Sesuai dengan maksud Hadits :

عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ اِيَا كُمْ وَالْفُرَقَةَ (رواه الامام احمد فى المسند)

“Hendaklah kamu mengikuti jama’ah (persatuan) dan jauhilah perpecahan
Syekh Abdul Qodir Jaelani menerangkan tentang ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam kitabnya Al-Ghunyah sebagai berikut :

فَالسنَةُ مَاسَنَّهُ رَسُولُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْجَمَاعَةُ مَا اتَفَقَ عَلَيْهِ اَصْحَابُهُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ فِى خِلاَفَةِ الأَئِمَّةِ الأَرْبَعَةِ الخُلَفَاءِ الرَاشِدِيْنَ الْمُهَدِيِيْنَ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِمْ اَجْمَعِيْنَ

Artinya :
Maka arti As Sunnah itu apa-apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, dan arti Al Jama’ah itu adalah apa-apa yang disepakati oleh para sahabat ra pada waktu khalifah empat dari Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk Allah; semoga rahmat Allah dilimpahkan atas mereka.
Dalam kitab مجمل اصول اهل السنة والجماعة في العقيدة, karangan Doktor Nasir bin abdul Karim Al’aql halaman 6, beliau menjelaskan sebagai berikut :

اَهْلُ السنَةِ وَالْجَمَاعَةِ : هُمْ مَنْ كَانَ عَلىَ مِثْلِ مَاكَانَ عَلَيْهِ النَبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَاَصْحَابِهِ.
وَسُمُوا اَهْلَ السُنَةِ لاِسْتِمْسَاكِهِمْ وَاتِبَاعِهِمْ لِسُنَةِ النبيّ صلى الله عليه وسلم.
وَسُمُوا الْجَمَاعَةَ لاِنهُمْ الَّذِيْنَ اِجْتَمَعُوا عَلىَ الْحَقِ وَلَمْ يَتَفَرَّقُوا فِى الدِّيْنِ. وَاجْتَمَعُوا عَلىَ اَئِمَةِ الْحَقِ وَلَمْ يَخْرُجُوا عَلَيْهِمْ وَاتَبَعُوا مَا اَجْمَعَ عَلَيْهِ سَلَفُ الاُمَةِ.

Artinya :
Ahlussunnah waljama’ah adalah orang-orang yang mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Mereka disebut ahlussunnah karena berpegang teguh dan mengikuti sunnah Nabi. Dan mereka disebut al Jama’ah karena mereka bersatu diatas haq/kebenaran, tidak berpecah belah dalam agama, mereka bersama-sama mengikuti para imam/pemimpin yang membela haq, tidak keluar dari padanya dan mengikuti apa-apa yang telah menjadi ijma’/ketetapan salaful ummah (ummat generasi pertama).
Sedangkan Syekh Abdul Aziz al Muhammad as Salman menjelaskan tentang pengertian ahlussunnah waljama’ah yaitu

وَالسُنَةُ شَرْعًا اَقْوَالُ النَبِيِ صلى الله عليه وسلم وَاَفْعَالُهُ وَاِقْرَارَاتُهُ. وَاَهْلَهَا هُمُ المُتَبِعُونَ لَهَا اَلْمُعْتَنُونَ بِدِرَاسَتِهَا وَفَهْمِهَا اَلْمُحَكِّمُونَ لَهَا وَنُسِبُوا اِلَيْهَا لِتَمَسَُكِهِمْ بِهَا وَانْتِسَابِهِمْ اِلَيْهَا دُونَ الطُرُقِ الاُخْرَى. وَالْجَمَاعَةُ فِي الاَصْلِ الْقَوْمُ الْمُجْتَمِعُونَ وَالْمُرَادُبِهِمْ هُنَا سَلَفُ الاُمَةِ مِنَ الصَحَابَةِ وَالتَابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ اَلَّذِيْنَ اِجْتَمَعُوا عَلَى الْحَقِ الصَّرِيْحِ مِنْ كِتَابِ اللهِ وَسُنَةِ نَـبِيِّهِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم.
Artinya :
Assunnah menurut syara’ ialah semua perkataan, prebuatan dan taqrir (penetapan) Nabi SAW, dan ahlinya (Ahlussunnah) ialah mereka yang mengikuti sunnah itu dengan sungguh-sungguh mempelajari dan memahaminya dan bertahkim dengannya. Mereka dinisbatkan kepadanya karena berpegang teguh dengannya dan menisbatkan diri dengannya tidak mengambil jalan yang lain. Sedangkan “al Jama’ah” dalam asal kata ialah mereka yang berhimpun. Dan yang dimaksud dengan mereka disini ialah jama’ah salaf yang terdiri dari para sahabat dan para pengikutnya secara ihsan (baik) sampai hari pembalasan, mereka berhimpun diatas dasar haq (kebenaran) yang shoreh yaitu Kitabullah (Al-Qur’an) dan sunnah Nabinya Muhammad SAW.
Dari uraian diatas kita dapat menarik kesimpulan, bahwa Ahlussunnah waljama’ah itu ialah orang-orang yang mengikuti sunnah (jejak) Nabi dan jejak para sahabatnya, dalam semua bidang kehidupannya. Mereka selalu berhimpun diatas haq/kebenaran tidak terpecah belah dalam agama dan menyimpang dari ketentuan Al-Qur’an dan As-Sunnah baik dalam bidang Aqidah, syari’ah maupun muamalah/ sosial kemasyarakatan.

2. Kriteria dan sifat-sifat Ahlussunnah wal-jama’ah
a. Komitmen dan berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah agar terhindar dari kesesatan. Nabi Muhammad SAW bersabda :

تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا اَبَدًا مَا اِنْ تَمَسَكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَةَ رَسُولِهِ
Artinya :
Telah aku tinggalkan ditengah-tengah kehidupanmu dua pusaka yang menjamin kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang teguh dengan keduanya yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah RasulNya. (Hadits Muttafaqun Alaih)
b. Selalu menghidupkan sunnah dan menentang bid’ah, sesuai sabda Nabi Muhammad SAW:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ”رواه الترمذى (
Artinya :
Berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Pegang erat-erat sunnahku itu, gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham dan hati-hatilah kalian dengan perkara-perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan itu bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah sesat. (HR. Turmudzi, 5/44 – 2676)
c. Selalu istiqomah dan konsekwen dalam haq/ kebenaran disaat manusia yang lainnya sudah rusak, tidak memperdulikan lagi kebenaran, sehingga mereka dikenal sebagai golongan Alghuroba (terasing). Nabi Muhammad SAW bersabda :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ (اخرجه مسلم 1/31)
وفي رواية : فطوبا للغرباء الذين يصلحون إذا فسد الناس (رواه الطبرانى)

Artinya :
Sesungguhnya Islam pertama muncul dalam keadaan terasing, dan akan kembali terasing sebagaimana semula, maka berbahagialah orang-orang yang terasing (HR. Muslim) dalam suatu riwayat, berbahagialah orang-orang yan terasing. Yaitu mereka yang berlaku baik dikala manusia telah rusak.
d. Kelompok yang selalu tampil membela agama Allah, yang tidak dapat diperdayakan/ dihina oleh orang-orang yang berusaha menghinakan, menen-tangnya sehingga mereka dijanjikan sebagai golongan yang ditolong/mendapat kemenangan dari Allah SWT.
عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَبِي أَسْمَاءَ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ (رواه مسلم)
Artinya :
Tidak pernah berhenti sekelompok dari ummatku yang selalu membela kebenaran, tidak membahayakan kepada mereka orang-orang yang menghinakan mereka hingga datang keputusan Allah SWT. (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain :

حَتَى يَأْتِيَهُمْ اَمْرُ اللهِ وَهُمْ ظَاهِرُوْنَ (رواه البخارى)

“Sehingga datang keputusan Allah kepada mereka dimana mereka dalam keadaan muncul/menang (HR. Bukhori)
e. Kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dikala terjadi perselisihan dalam suatu masalah (QS. Annisa : 59 dan 65)
f. Selalu mendahulukan Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam menetapkan suatu hukum atas yang lainnya.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya, dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha mengetahui (QS. 49 : 1)

Sehubungan dengan hal ini, Ibnu Abbas pernah berkata :

اَخْشَى اَنْ تُنْـزَلَ عَلَيْكُمْ حِجَارَةٌ مِنَ السَّمَاءِ اَقُولُ لَكُمْ قَالَ: رَسُولُ الله وَتَقُولُونَ قَالَ اَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ
“Saya khawatir akan diturunkan batu (sebagai azab) dari langit karena saya mengatakan Rasulullah telah bersabda (menetapkan sesuatu), sedangkan kamu berkata ini pendapat Abu Bakar dan Umar.
g. Bertauhid secara murni adalah sebagai landasan kehidupan baik secara pribadi maupun secara masyarakat.
h. Tidak ta’ashub (fanatisme) kepada siapapun kecuali kepada firman Allah dan sabda Rasul-Nya. Sebab selain Rasul tidak ma’shum dari kesalahan.

عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ (رواه سنن ابن ماجة)

“Setiap Bani Adam adalah (mungkin) berbuat salah, dan sebaik-baiknya yang berbuat salah adalah orang yang bertaubat. (HR. Ahmad).
i. Menghormati para Imam Mujtahid dan tidak fanatik kepada salah satunya, serta mengambil pendapat ulama yang sesuai dengan Hadits soheh.
j. Selalu melakukan amar ma’ruf nahi munkar, dan menjauhi perkara-perkara yang dilarang seperti TBC (Takhayul, Bid’ah dan Kufarat) dll.
k. Selalu membela dan berkorban dengan harta dan jiwa demi tegaknya dienul Islam ditengah-tengah kehidupan Masyarakat.

3. Pemahaman Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam bidang Aqidah, Siyasah/Kenegaraan dan bidang Fiqih/Furu’uddin
a. Dalam bidang Aqidah/Ushuluddin
Mengikuti pemahaman ulama salaf (ulama generasi pertama) yaitu para sahabat, Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in selanjutnya dengan kriteria dan sifat-sifat sebagaimana yang telah dijelaskan tersebut diatas seperti aqidahnya para imam yang empat (Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal juga Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan Imam Al Maturidi. Mereka adalah para pengikut sunnah sehingga dikenal sebagai assuny dan bukan golongan Syi’ah, Mu’tazilah, Khawarij, Jabariyah, Murjiah dan Musyabihah.
b. Dalam Bidang Siyasah Syari’ah (Pemerintahan)
Untuk memahami pengertian Ahlussunnah waljama’ah dalam bidang siyasah (pemerintahan) kiranya cukup jelas uraian KH. Uwes Abu Bakar dalam kitabnya ishlahul Ummah fibayan Ahlussunnah waljama’ah, beliau telah menjelaskan bahwa Ahlussunnah waljama’ah dalam bidang siyasah (pemerintahan) adalah mengikuti ketentuan-ketentuan dan contoh Rasulullah SAW dan Khulafaurrasyidin dalam sistem :
ü Pemilihan / pengangkatan Khalifah (Kepala Negara)
ü Dasar Negara dan Hukum yang berlaku
ü Pelaksanaan pemerintahan dan tanggung jawab para penguasa
ü Hak dan kewajiban Kepala Negara dan Rakyat
ü Serta sistem-sistem yang lainnya
Kesemuanya mengacu kepada ketentuan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta jejak para sahabat. Penjelasan beliau dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Para pengikut Ahlussunnah waljama’ah wajib ta’at kepada Allah, RasulNya dan Ulil Amri, serta mengembalikan hal-hal yang diperselisihkan kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Al-Hadits). Berdosalah seseorang apabila tidak ta’at kepada salah satunya, atau hanya taat kepada salah satunya saja. Dengan ketentuan bahwa keputusan-keputusan Ulil Amri yang wajib ditaati itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
b. Yang dimaksud dengan “Ulil Amri Minkum” ialah para penguasa atau para pemimpin yang beriman yang mengurus urusan kemaslahatan ummat (seperti lembaga DPR/MPR atau Organisasi-organisasi). Sebagai keputusan Ulil Amri ini wajib ditaati selama tidak bertentangan dan menyalahi hukum Allah dan RasulNya. Sebagaimana yang dimaksud dalam pengertian surat An-Nisa ayat 59 dan dipertegas oleh Hadits :
عَنْ عَلِيٍّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ (صحيح رواه احمد)
“Tiada ketaatan bagi seseorang (makhluk) dalam hal maksiat kepada Allah (khalik). (HR. Ahmad).
c. Pengikut Ahlussunnah wal-jama’ah tidak boleh mem-berontak kepada pemerintahan yang syah dan selalu menjaga kemaslahatan ummat dan menghindari kemudaratan/ kerusakan. Rasulullah SAW pernah bersabda :

عن ا بْنِ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ يَقُولُ سَمِعْتُ عَوْفَ بْنَ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيَّ يَقُولُا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ خِيَارُ أَئِمَّتِكُمِ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمِ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قَالُوا قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ عِنْدَ ذَلِكَ قَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلَاةَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلَاةَ أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ. (رواه مسلم 3/1482)
Artinya :
Sebaik-baik pemimpin kalian adalah kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian. Kalian do’a kan kesejahteraan bagi mereka dan mereka mendo’a kan kesejahteraan buat kalian. Dan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian. Kalian melaknati mereka dan mereka melaknati kalian. Kami para sahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah mereka boleh kita perangi ketika terjadi demikian? Rasulullah menjawab : Tidak, selama mereka masih shalat bersama kalian. Ketauhilah barangsiapa urusannya diurusi oleh Ulil Amri (sulton) kemudian dia melihatnya berbuat maksiat kepada Allah, maka hendaklah dia benci terhadap maksiat yang dia perbuat dan sungguh jangan cabut tangan ketaatan padanya. (HR. Muslim 3/1482).
d. Lembaga Ulil Amri ini dalam bermusyawarah hendaklah memperhati-kan dan berpegang dengan mabadi (prinsip-prinsip) yang empat (Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ dan Al-Qiyas).
e. Materi yang dimusyawarahkan adalah hal-hal yang menyangkut dengan kemaslahatan ummat dan negara, dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang empat itu.
c. Dalam bidang Fiqh/Furuuddin
a. Sumber-sumber hukum
Para ulama Ahlussunnah dalam menetapkan hukum bidang fiqh/furu’uddin berpegang dengan dalil-dalil sebagai berikut
1) Imam Abu Hanifah (80 H – 150 H)
a) Kitabullah
b) Sunnah Rasulullah dan Atsar yang shahih yang telah masyhur diantara para ulama.
c) Fatwa para sahabat
d) Qiyas
e) Istihsan
2) Imam Malik (93 H-179 H)
a) Kitabullah
b) Sunnah Rasul yang beliau anggap shahih
c) Amal ulama Madinah (ijma’ Ulama Madinah)
d) Qaul Sahabai (bila tidak ada yang menolaknya)
e) Qiyas
f) Mashlahah Mursalah
3) Imam Syafi’i (150 – 204 H)
a) Kitabullah
b) Sunnah Rasul
c) Al-Ijma’
d) Al-Qiyas
4) Imam Ahmad bin Hambal (164 H – 241 H)
a) Al-Qur’an dan Hadits marfu’
b) Fatwa-fatwa sahabat
c) Fatwa-fatwa sahabat yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah jika fatwa-fatwa itu berlawanan
d) Hadits mursal dan Hadits do’if (jika tidak ada yang menolaknya dan tidak lemah benar).
e) Qiyas
Bila kita renungkan dengan seksama, semua dalil-dalil para ulama tersebut dapat kita simpulkan, bahwa sumber-sumber hukum itu ada 2 (dua) yaitu :
1. Alwahyu Ilahi (Al-Qur’an dan As-Sunnah)
2. Al-Ijtihad

b. Metode Penetapan Hukum
Dalam melakukan penetapan hukum, para ulama Ushul fiqh melakukan istinbath (mengeluar-kan hukum dari dalil) dengan cara mengetahui dan memahami
a. Qaidah Syar’iyah
b. Qaidah Lugowiyah
Yang dimaksud dengan qaidah syar’iyah ialah ketentuan umum yang ditempuh syara’ dalam menetapkan hukum dan tujuan penetapan hukum bagi “Subyek hukum” (mukallaf), dengan cara sebagai berikut :
1. Istidlal, dilaksanakan dengan cara :
a. Melihat pada Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan sumber dari segala sumber hukum Islam
b. Melihat pada As-Sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an di samping penetapan hukum baru apabila dalam Al-Qur’an tidak terdapat dasar hukum tersebut;
c. Melakukan ijtihad dalam menggunakan atau memahami dalil baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah bila mengahadapi dalil atau dalalah yang dzoniyah;
d. Melakukan ijtihad dalam menghadapi dua atau beberapa dalil yang kekuatannya sama dan zhahirnya bertentangan (تعارض الادلة) dengan cara

* Berusaha melakukan pengumpulan isi dalil tersebut sehingga dapat diamalkan semua (الجمع والتوفيق).
* menghadapi dalil As-Sunnah dapat dilakukan penelitian waktu wurudnya, dan menggagap yang dahulu datangnya dinasakh dengan yang kemudian (النسخ).
* tidak dapat disimpulkan dan tidak dinyatakan adanya nasakh – nasakh, maka dilakukan tarjih/الترجيح

2. Memperhatikan Tujuan Penetapan Hukum
Tujuan pokok penetapan hukum Islam bagi mukalaf ialah untuk kemaslahatan hidup manusia. Dalam mencapai kemaslahatan ini diadakan pembagian tiga kualifikasi :
a. Tingkat dhoruri yang tidak boleh tidak harus ada untuk memelihara kemaslahatan yang lima (Agama, Jiwa, Akal, Harta dan Keturunan)
b. Tingkat Hajjy, sebagai kebutuhan kedua setelah tingkat dhorury untuk terhindar dari kesulitan pelaksanaan dan kesempatan dalam pengamalan.
c. Tingkat Tahsiny, sebagai pelengkap dari kedua tingkatan tersebut di atas.
Dalam mewujudkan kemaslahatan itu syara’ menetapkan prinsip-prinsip kaidah kuliyah yang pokok terdiri dari :
1- اَلامُورُ بِمَقاصِدِها.
“Segala urusan harus dilihat tujuannya”
2- اَلْيَقِينُ لايَزُولُ بِالشَّكِ
“Sesuatu yang sudah yakin tidak boleh hilang lantaran suatu keraguan”
3- اَلْمَشَقَةُ تَجْلِبُ التَيْسِيرَ
“Kesulitan membawa keuntungan”
4- اَلضَرَرُ يُزَالُ
“Madharat (kesulitan) itu dapat dihindarkan (dalam agama)”
5- اَلْعَادَةُ مُحَكَمَةٌ
“ Adat itu dipandang hukum (bila tidak menyalahi syari’ah)

Kaidah-kaidah yang pokok tersebut mempunyai cabang-cabangnya yang kesemuanya dijadikan pedoman oleh para mujtahid/ulama dalam menetapkan hukum terhadap sesuatu masalah yang baru agar penetapan hukum itu sesuai dengan tuntunan dan jiwa syari’ah yaitu tercapainya kemaslahatan dan kesejahteraan lahir dan bathin sehingga syari’ah Islam tetap dapat diterapkan disegala tempat dan waktu.

4. Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam Masalah hilafiyah
a. Timbulnya Masalah Khilafiyah
Masalah Khilafiyah timbul melalui ijtihad karena adanya masalah/persitiwa yang belum jelas hukumnya. Hal ini terjadi sejak masa Rasul masih hidup walaupun sangat terbatas sekali, karena bila terjadi perbedaan pendapat diantara para sahabat, mereka segera bertanya kepada Rasul.
Contoh :

Perbedaan pendapat para sahabat dalam melakukan shalat ashar dalam perjalanan ke Bani Quraizoh. Rasulullah telah berpesan
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَنَا لَمَّا رَجَعَ مِنَ الْأَحْزَابِ لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضَهُمُ الْعَصْرُ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرَدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ (رواه الشيخان)
Artinya :
Janganlah seseorang melakukan shalat ashar kecuali di Bani Quraizoh. Kemudian sebagian mereka mendapat waktu ashar ditengah perjalanan, sebagian mereka berkata : Kita tidak melakukan shalat disini kecuali setelah sampai disana. Dan sebagian mereka mengatakan hendaklah kita shalat disini karena Rasul tidak menghendaki yang demikian. Kemudian hal itu disampaikan kepada Nabi, dan Nabi SAW tidak mencela kepada seorangpun diantara mereka. (HR. Bukhori dan Muslim)
Masalah khilafiyah semakin meluas setelah Rasulullah SAW wafat, bertebarnya para sahabat dan semakin banyaknya masalah atau persitiwa yang terjadi yang belum jelas status hukumnya.
Contoh :
1.Tentang kewarisan kakek (الجد)
o ذَهَبَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ الله عَنْهما اِلَى اَنَ الْجَدَ يَحْجُبُ الاخْوَةَ اياكانُوا كالابِ فى الْمِيْرَاثِ لاطْلاقِ لَفْظَةِ الابِ عَلَيْهِ فى الْقُرْآنِ.
o وَذَهَبَ آخرونَ كَعُمَرَ وَعَلِىِ وَزَيْدِ رضي الله عنهم اِلَى اَنَ الاخْوَةَ الاشِقاءَ وَالابَ يُقاسِمُونَ الْجَدَ فى الْمِيْرَاثِ نَظْرًا لاتِحادِ وِجْهَتِهِمْ اِذْ اَنَّ كُلا مِنْهم يُدْلِى اِلَى الْمَيْتِ بِوَاسِطَةِ الابِّ.


Artinya :
Ibnu Abbas berpendapat, bahwasanya kakek itu seperti ayah menghalangi saudara dalam hal warisan bagaimanapun keadaannya. Karena kemutlakan (keumuman) lafadz Al-Ab atas Al-Jad dalam Al-Qur’an. Sedangkan yang lain seperti Umar, Ali dan Zaid RA berpendapat bahwasanya saudara laki-laki sekandung atau sebapak itu mendapat bagian muqosamah (bagi rata) bersama kakek dalam warisan mengingat keberadaan mereka dari satu jalur, karena masing-masing diantara mereka berhubungan dengan mayyit sama-sama langsung perantaraan ayah.

2.Tentang iddah istri yang wafat suaminya dalam keadaan hamil.
فَقالَ عُمَرَ وابنُ مَسْعودٍ : تُعْتَدُ بِوَضْعِ الْحَمْلِ وَبِهِ قالَ جُمْهُورُ اْلعُلَمَاءِ وقال علي وابن عباسٍ : تُعْتَدُ بِأَبْعَدِ الاجَلَيْنِ وَبِهِ قال مالِكَ

Artinya :
Berkata Umar dan Ibnu Mas’ud : Ia (istri yang suaminya wafat dalam keadaan hamil) iddahnya ialah dengan melahirkan kandungannya, pendapat ini juga adalah jumhur ulama.
Sedangakan Ali dan Ibnu Abbas berkata : Istri tersebut iddahnya dengan mengambil masa yang lebih lama, pendapat ini diikuti oleh Imam Malik.

b. Hakekat masalah Khilafiyah dan sebab-sebab Ikhtilaf Fuqoha
1. Hakekat masalah khilafiyah adalah masalah fiqhiyah furu’iyah yang didapat hukumnya dengan jalan istinbath para mujtahid dari dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jadi masalah khilafiyah adalah masalah-masalah Ad-Dien yang bersifat furu’ bukan bersifat pokok (ushuluddin) yang didapat ketentuan hukumnya dengan jalan Ijtihad yang berdasarkan kepada dalil-dalil syar’i. Dengan demikian bila ada suatu masalah (furu’iyah) yang ketentuan hukumnya tidak berdasarkan dalil-dalil syar’i atau bertentangan dengan jiwa syar’iyah (Qur’an dan As-Sunnah), maka masalah itu bukan masalah khlifaiyah yang bisa diterima, melainkan masalah itu termasuk bid’ah yang dilarang oleh agama.
2. Sebab-sebab ikhtilaf secara garis besarnya ada empat :
1- اَلاخْتِلافُ فى ثبوتِ النَصِ الشَرْعِى وَعَدَمُ ثُبُوتِهِ.
– كاختلاف العلماء فى ثبوت حديث العينة.
– فذهب الامام الشافعى الى عدم ثبوته ولم يحتج به وضعف جميع طرقها وبني على ذلك قوله بجواز بيع العينة.
– وذهب جمهور العلماء الى عدم جوازه حيث اعتبروا احاديث العينة مع ضعفها يشد بعضها بعضا وتصلح ان تكون حجة فى تحريمها.
2- اِلاخْتِلافُ فى فَهْمِ النُصُوصِ الشَرْعِيَةِ كَمَا فى تَعْيِين ِالمُرَادِ فى لَفْظَةِ قُرُوءٍ. الواردة فى قوله تعالى “والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء. (البقرة : 228)
– فعند الاحناف : هي الحيض وهو قول عمر وعلى وابن مسعود
– وعند الشافعى : هي 0الاطهار وهو قول عائشة وابي عمر وزيد بن ثابت
3- اِلاخْتِلافُ فى الجَمْعِ وَالتَرْجِيْحِ بَيْنَ النُصُوصِ.
كاختلاف العلماء فى فراءة المأموم الفاتحة خلف الامام.
– عند الشافعى واحمد : يقرأ امطلقا. عند ابن حنيفة لايقرأ مطلقا.
– وعند مالك : يقرأ فى السرية ولا يقرأ فى الجهرية.
4- اِلاختِلافُ فى القَوَاعدِ الاُصولِيَةِ وَبَعْضِ مَصادِرِ الِاسْتِنْبَاطِ
كاختلاف فهم فى حجية عمل اهل المدينة : انه حجة عند ملك وليس ذلك عند الجمهور فاختلفوا فى توريث ذوى الارحام كالاخوال والاعمام وغيرهم.
– فعند الامام مالك : عدم توريثهم لعمل أهل المدينة على عدم توريثهم
– وعند الحنفية والحنبلية : بتوريثهم عملا بعموم قوله تعالى ” وأولوا الأرحام بعضهم أولى ببعض في كتاب الله. (الانفال : 75)
“والحديث (ص)” والخال وارث من لاوارث له. (اخرجه احمد والاربعة سوى الترمذى)
Artinya :
1. Perbedaan dalam ketetapan nash syar’i dan tidak adanya. Seperti perbedaan ulama dalam hal keteatapan adanya Hadits al-Inah. Imam syafi’i berpendapat tidak kuatnya hadits al-Inah, beliau tidak mengganggap hujjah Hadits tersebut dan menggangap lemah semua sanadnya. Berdasarkan atas pandangan itu, beliau berpendapat bolehnya terjadi jual beli Al-Inah.
Sedangakn Jumhur ulama berpendapat tidak boleh jual beli Al-Inah itu karena menganggap Hadits Al-Inah itu sekalipun sanad-sanadnya lemah, satu sama lain saling menguatkan sehingga Hadits tersebut boleh dijadikan hujjah atas haramnya jual beli Al-Inah.
2. Perbedaan dalam hal memahami nash-nash syar’i seperti perbedaan dalam menentuakn ma’na yang dimaksud dalam lafadz “quru” yang terdapat dalam firman Allah SWT :

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

“Istri-istri yang dicerai suaminya hendaklah menunggu iddah dirinya 3 quru”. (QS : 2 : 228)

Bagi ulama Hanafi lafadz quru itu maksudnya adalah haidh, pendapat itu pendapat Umar, Ali dan Ibnu Mas’ud RA.
Menurut Imam Syafi’i, lafadz quru itu maknanya suci. Pendapat itu adalah pendapat Aisyah, Ibnu Umar dan Zaid bin Tsabit.
3. Perbedaan dalam hal jama’ dan tarjih diantara nash-nash yang ada. Seperti perbedaan ulama dalam hal membaca fatihah bagi makmum dibelakang Imam. Bagi Imam Syafi’i dan Imam Ahmad : Hendaknya makmum itu membaca secara mutlak.
Menurut Abu Hanifah : Makmum itu tidak boleh membaca secara mutlak
Menurut Imam Malik : Hendaklah makmum itu membaca pada shalat sirriyah dan tidak membaca pada shalat jahriyah.
4. Perbedaan dalam hal memandang kaidah-kaidah usuliyah dan sebagian sumber-sumber istinbath, seperti perbedaan para ulama dalam hal memandang kehujjahan amal ahli Madinah. Amal ahli Madinah dipandang hujjah oleh Imam Malik, dan tidak dipandang hujjah oleh jumhur ulama. Karenanya para ulama berbeda pendapat dalam hal menetapkan hukum kewarisan dzawil arham seperti saudara dari fihaq ibu dan saudara dari fihak bapak dan yang lainnya.
Menurut Imam Malik, dzawil arham tidak berhak mendapatkan warisan dengan hujjah amal ahli Madinah yang tidak memberikan hak waris kepada mereka. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah dan Ulama Hambali, dzawil arham itu berhak mendapat warisan karena melaksanakan keumuman firman Allah SWT :

وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ

“Ulul Arham (orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat) lebih berhak terhadap sesamanya (dari pada orang yang bukan kerabat) dalam kitab Allah. (QS. Al-Anfal : 75)
Juga karena adanya Hadits :

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ قَالَ كَتَبَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِلَى أَبِي عُبَيْدَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ مَوْلَى مَنْ لَا مَوْلَى لَهُ وَالْخَالُ وَارِثُ مَنْ لَا وَارِثَ لَهُ (اخرجه احمد والاربعة سوى الترمذى)

“Saudara dari fihak ibu adalah sebagai ahli waris bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris. (HR. Ahmad dan Arba’ah selain Tirmidzi)
c. Adab/Etika Dalam Menghadapi Masalah Khilafiyah
a. Sikap para Ulama
Bersikap toleransi, menghormati dan husnudzon terhadap pendapat para mujtahid yang berbeda pendapat. Hal ini terbukti dari ucapan dan prilaku mereka seperti yang diungkapkan oleh Imam Ad-Dahlawy yang dikutip oleh DR. Al Bayanuni sebagai berikut :
وقد كان فى الصحابة والتابعين ومن بعدهم من يقرأ البسملة ومنهم من لايقرؤها ومنهم من يجهربها ومنهم من لا يجهربها وكان منهم من يقنت فى الفجر ومنهم من لايقنت فى الفجر. ومنهم من يتوضأ من الحجامة والرعاف والقيئ. ومنهم لايتوضأ من ذلك الى امثلة اخرى.
ثم قال : ومع هذا فكان بعضهم يصلى خلف بعض مثل ماكان أبوحنيفة أو اصحابه والشافعى وغيرهم رضي الله عنهم يصلون خلف ائمة المدينة من المالكية وغيرهم وان كانوا لايقرؤون البسملة لاسرا ولاجهرا.
وصلى الرشيد إماما وقد احتجم فصلى الامام ابويوسف خلفه ولم يعد-وكان أفتاه الامام مالك بأنه لاوضؤ عليه.
وكان الامام احمد بن حنبل يرى الوضؤ من الرعاف والحجامة فقيل له : فان كان الامام قد خرج منه الدم ولم يتوضؤ هل تصلى خلفه؟ فقال كيف لاأصلى خلف الامام مالك وسعيد بن المسيب؟” وذكر الامام النووى فى شرحه على صحيح مسلم : “ليس للمفتى ولاللقاضى ان يعترض على من خالفه اذالم يخالف نصا او اجماعا او قياسا جليا. (شرح مسلم للنووى: 2/23)
Artinya :
Dan sungguh terdapat diantara para sahabat, para tabi’in dan orang-orang sesudah mereka, orang yang membaca basmalah (dalam shalat) dan yang tidak membacanya.
Sebagian mereka menjahrkan (mengeraskan) bacaan basmalah dan sebagiannya tidak menjahr-kannya. Ada diantara mereka yang melakukan qunut pada shalat fajar (shubuh), dan sebagiannya tidak berqunut pada shalat shubuh. Sebagian mereka berwudlu disebabkan di canduk (pantik), keluar darah dari hidung dan muntah, sedang sebagiannya lagi tidak berwudlu lantaran hal-hal tersebut. Dan masih banyak contoh-contoh lain. kemudian dia (syekh Ad Dahlawy) berkata :
Namun demikian sebagian mereka shalat dibelakang yang lain seperti yang dilakukan oleh Abu Hanifah atau para sahabatnya, Imam Syafi’i dan yang selainnya – semoga mereka mendapat ridho Allah – mereka shalat dibelakang para Imam Madinah dari golongan mazhab Malikiyah dan selain nya, mereka itu tidak membaca basmalah baik secara sirri maupun secara jahiri.
Harun Ar-Rasyid pernah Shalat sebagai Imam sehabis dicanduk, dan Abu Yusuf shalat di-belakangnya (makmum), beliau tidak mengulangi shalatnya, karena Imam Malik pernah memberikan fatwa bahwa “bagi yang dicanduk tidak perlu wudlu lagi”. Dan adalah Imam Ahmad bin Hambal memandang (bathal) wudlu lantaran keluar darah dari hidung dan dipantik. Ditanyakan kepadanya : sekiranya Al-Imam (Malik) telah keluar darah dari hidungnya dan tidak berwudlu, apakah anda shalat dibelakang-nya? Dia (Imam Ahmad) menjawab: Bagaimana aku tidak berjama’ah shalat di belakang Imam Malik dan Sa’id bin Al Musayyab.
Imam An Nawawy telah menyebutkan dalam kitabya syarah shoheh Muslim’ tidak boleh bagi mufti dan bagi hakim menentang pendapat yang berbeda dengannya”, apabila pendapat tersebut tidak bertentangan dengan nash, Ijma, atau Qias Jaly (jelas). (syarah Muslim oleh Imam Nawawy, 2 : 23)
b. Sikap seorang Muslim
Hendaklah menurut tingkat daya pemahaman masing-masing, ada tiga tingkatan :
1. Sebagai ‘Alim (Mujtahid/ Ahlu Nadzor) hendaklah melakukan ijtihad (menurut kadar mujtahidnya) dan tarjih.
2. Sebagai awam hendaklah mengikuti pendapat ulama dengan menghormati pendapat ulama lain yang berbeda pendapat, dan meninggalkan pendapat yang ada padanya bila jelas menyalahi dalil. Dan boleh berpindah-pindah dari suatu mazhab ke mazhab lain yang mudawan.
Diterangkan dalam kitab “Ishlahul ummah” karya KH. Uwes Abu Bakar, beliau telah menukil dari kitab Al-Fawaidul Makiyah hal 51 :

وَاعْلَمْ اَنَّ الاصَحَّ من كَلامِ الْمُتَأخِرِينَ كاالشيخ ابن حجر وغيره اَنَّهُ يَجُوزُ الانْتِقَالُ من مَذْهبِ الى مذهب من المَْذَاهِبِ المُدَوَّنةِ وَلَوْ بِمُجَرَّدِ التشهىسَوَاءٌ اِنْتَقِلَ دَوَاما اوفى بَعْضِ الحَادِثَةِ
Artinya :
Ketahuilah, yang paling benar dari perkataan ulama mutaakhirin seperti syekh Ibnu Hajar dan lainnya, bahwasanya boleh berpindah-pindah mazhab kepada mazhab lain diantara mazhab-mazhab yang mudawan, meskipun semata mata karena kemauan saja baik berpindahnya untuk selama nya maupun pada suatu masalah.

Kemudian beliau menjelas-kan tentang batasan orang awam ini yang beliau nukilkan dari kitab Ma’danul jawaqitil multamiah fimanakibil aimmatil arba’ah sebagai berikut:
وَالْعَامِى فى عرْفِهِمْ كل منْ لايتمكن من ااِدْراكِ الاحْكامِ الشرعِيَّةِ من الادِلَةِ ولايَعْرِفُ طرقَها فَيَجُوزُ لَهُ التَقْلِيدُ بَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ بدليل قوله تعالى فَاسأَلُوا اَهلَ الذِكرِ اِنْ كُنْتُمْ لاتعلمونَ
Artinya :
Yang disebut orang awam pada pandangan mereka adalah setiap orang yang tidak dapat mengetahui hukum-hukum syara’ dari dalil-dalilnya dan tidak mengetahui jalan memahami nya, maka boleh baginya taqlid, bahkan wajib berdasarkan firman Allah SWT yang artinya :
Bertanyalah kamu kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.
3. Sebagai Muta’alim (dibawah mujtahid dan diatas awam) Hendaklah :
– Melakukan Tarjih (bagi orang yang memenuhi syarat)
– Mengikuti pendapat ulama seperti orang awam (bagi yang belum memenuhi kemampuan tarjih)
c. Sikap yang harus dihindari :
– Sikap افراط (berlebihan) dengan fanatisme mazhab.
– Sikap تفريط menyia-nyiakan/melecehkan mazhab


BAB IV
KESIMPULAN DAN KHATIMAH

A. Kesimpulan
1. Mengingat Organisasi Mathla’ul Anwar ber-aqidah Ahlussunnah Waljama’ah, maka setiap gerak dan langkahnya hendaklah mengikuti pemahaman Ahlussunnah Waljama’ah baik segi aqidah, pemerintahan maupun ibadah atau fiqh dan furu’udin lainya.
2. Khusus dalam masalah khilafiyah, hendaklah bersikap seperti yang telah disebutkan di atas dengan penjelasan sebagai berikut :
a. Secara pribadi/ perorangan, hendaklah bersikap menurut tingkatan daya pemahaman/ kemampuan dan kedudukan masing-masing, serta menghindari sikap ifrath dan tafrith terhadap madzhab.
b. Secara Organisasi, Mathla’ul Anwar tidak melakukan Tarjih dalam bidang ibadah, dengan pertimbangan:
1) Menghidanri kemungkinan timbulnya kelompok baru, demi persatuan dan kesatuan
2) Mathla’ul Anwar sebagai ormas Islam yang bergerak dalam bidang pendidikan dan dakwah terdiri dari para anggota dan jama’ah yang berbeda latar belakang pendidikan, pemaham-an agama dan status sosial.
3) Hasil Tarjih tidak menutup kemungkinan adanya perubahan dimasa berikutnya lantaran terdapat dalil yang lebih kuat.
4) Masalah ibadah sasarannya حبل من الله berbeda dengan bidang muamalah yang sasaran dan penilaiannya langsung menyangkut hak sesama manusia.
B. Khatimah

Dari uraian dan kesimpulan diatas, maka kithah Mathla’ul Anwar tercermin dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Berpegang teguh dengan Al-qur’an’an dan As-Sunnah
2. Bersatu dalam Aqidah
3. Berjama’ah dalam Ibadah
4. Bertoleran dalam khilafiyah
5. Bersikap tegas terhadap bid’ah
6. Berorentasi kepada mashlahatil ummah
7. Berpiawai dalam siyasah
8. Bersama membangun masyarakat dengan pemerintah
9. Berjuang di jalan Allah SWT.