Filsafat Demokrasi antara Memilih dan Dipilih, kenapa hadir ke TPS?

Pendahuluan
Demokrasi wujud dari demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan), dimana katanya rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Dalam konteks filsafat, proses memilih dan dipilih melibatkan nilai-nilai kebebasan, keadilan, dan tanggung jawab.

  1. Landasan Filsafat Demokrasi
    Demokrasi sebagai sistem pemerintahan berbasis partisipasi rakyat telah menjadi subjek perdebatan dalam filsafat sejak zaman kuno. Plato, misalnya, mengkritik demokrasi karena berpotensi melahirkan kekacauan akibat ketidakmampuan massa untuk memimpin. Sebaliknya, Aristoteles melihat demokrasi sebagai salah satu bentuk pemerintahan campuran yang bisa menghasilkan keseimbangan.

Pada era modern, John Locke memandang kebebasan individu sebagai hak asasi yang mendasari demokrasi, sementara J.J. Rousseau menekankan pentingnya general will atau kehendak umum sebagai representasi kehendak kolektif rakyat. Kedua filsuf ini memberikan fondasi bahwa demokrasi tidak hanya soal kebebasan memilih, tetapi juga tanggung jawab sosial untuk mencapai keadilan bersama.

  1. Esensi Memilih dalam Demokrasi
    Hak memilih adalah perwujudan kebebasan individu dalam menentukan arah pemerintahan. Dalam pandangan Immanuel Kant, kebebasan memilih mencerminkan otonomi moral, yaitu kemampuan individu untuk bertindak berdasarkan prinsip rasional. Perspektif utilitarianisme, seperti yang diajukan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, menekankan bahwa memilih seharusnya berorientasi pada kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang.

Namun, proses memilih juga menghadapi tantangan. Pengaruh politik uang, manipulasi informasi, dan polarisasi sering kali mengaburkan pertimbangan moral pemilih. Memilih demi kepentingan pribadi atau golongan sempit dapat bertentangan dengan tanggung jawab sosial yang idealnya dimiliki oleh setiap pemilih.

  1. Esensi Dipilih dalam Demokrasi
    Hak untuk dipilih mencerminkan prinsip kesetaraan dalam demokrasi. Menurut John Rawls, keadilan menuntut adanya kesempatan yang adil bagi semua individu untuk menjadi pemimpin, tanpa diskriminasi berdasarkan status sosial atau ekonomi. Seorang pemimpin tidak hanya harus memiliki kompetensi, tetapi juga integritas moral dan tanggung jawab terhadap rakyat yang dipimpinnya.

Dalam konteks filsafat kepemimpinan, Niccolò Machiavelli menekankan pentingnya pragmatisme dalam memimpin, meskipun terkadang bertentangan dengan moralitas ideal. Sebaliknya, Confucius dan Al-Farabi menawarkan pandangan bahwa seorang pemimpin yang ideal adalah mereka yang memiliki kebajikan dan bertindak demi kebaikan umum.

  1. Hubungan Antara Memilih dan Dipilih
    Memilih dan dipilih adalah dua elemen yang saling terkait dalam demokrasi. Pemilih memiliki tanggung jawab moral untuk memilih kandidat yang terbaik, sedangkan kandidat yang terpilih harus menjalankan amanah rakyat dengan integritas dan kompetensi. Proses pemilu dapat dilihat sebagai manifestasi dari kontrak sosial Rousseau, di mana rakyat menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada pemimpin yang dipercaya untuk memenuhi kehendak umum.

Namun, dalam praktiknya, demokrasi modern sering menghadapi krisis representasi. Ketimpangan antara harapan rakyat dan realitas pemerintahan menciptakan ketidakpuasan yang mengancam legitimasi demokrasi itu sendiri.

Penutup
Memilih dan dipilih adalah elemen fundamental yang merefleksikan nilai-nilai kebebasan, keadilan, dan tanggung jawab dalam demokrasi. Dalam kerangka filsafat, proses ini tidak hanya mencerminkan hak individu, tetapi juga kewajiban moral untuk berkontribusi pada kesejahteraan bersama. Oleh karena itu, penting untuk mendorong partisipasi aktif rakyat serta membangun budaya kepemimpinan yang berintegritas.

Demokrasi proses yang terus berkembang. Sebagai masyarakat, kita harus terus merefleksikan nilai-nilai filosofis yang mendasari sistem ini agar dapat menciptakan tatanan yang lebih adil dan bertanggung jawab.

Inspirasi

  • Plato, The Republic.
  • John Locke, Two Treatises of Government.
  • J.J. Rousseau, The Social Contract.
  • John Stuart Mill, On Liberty.
  • John Rawls, A Theory of Justice.

*) H.S. Miharja, Ph.D

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *