AHLI SUNNAH WAL JAMA’AHDALAM ARTI KE NEGARAAN

Pada permulaan tadi di atas, diterangkan bahwa ada golongan yang mengira, bahwa kata-kata rangkaian “Ahli Sunnah wal Jama’ah”, diistilahkan orang sejak akhir windu ke-5 Hijriah. Ini artinya, dalam arti kenegaraan, maka kata-kata “Ahli Sunnah wal Jama’ah” itu menjadi masyhur pada akhir windu ke-5.

Sebagai dimaklumi, terjadilah suatu tragedi (kesedihan), yang menyolok bagi kehidupan sejarah Islam setelah ditinggalnya Rasulullah SAW yaitu terbunuhnya Sayidina Utsman r.a., sehingga wafat sebagai khalifah ke-3 itu. Hal ini sungguh menjadi lembaran hitam bagi buku sejarah Islam. Meskipun hal ini adalah menjadi suatu untuk kita berfikir, tetapi berat dan besar sekali. Konsekwensi perjuangan, banyak sekali membawa kepahitan dan penderitaan. Karena memang suatu cita-cita yang baik dan mulia itu harus ditebus dengan bermacam pengorbanan apapun dalam perjuangan kita harus bertahan, kita bersabar, kita harus berpendirian yang tetap dan tak menggoncang, apabila setelah kita fikirkan masak-masak, kita perhitungkan dengan matang bahwa perjuangan kita ini adalah hak sesuai dengan kehendak agama dan ajaran Nabi Muhammad SAW.

Sebab kesemua penderitaan itu, kesemua pengorbanan itu, adalah suatu ujian, suatu imtikhan dan i’tibar guna penebus kemulyaan (tercapainya cita-cita) di masa datang. Laksana orang yang sedang berpuasa, dia harus sabar menderita panas dasyatnya perut karena kosongnya dan dia harus yakin bahwa maghrib itu akan tiba tidak lama lagi. Saat dan waktunya berbuka itu akan sampai juga, tiada seberapa lama lagi. Dia jangan buka sebelum waktunya, dia jangan batal puasanya. Boleh jadi dia waktu menderita itu, waktu dia goncang itu, sudah waktu ashar. Sebentar lagi saja waktunya ia berbuka. Maka berbahagialah orang yang tamat puasanya, dan rasa menyesal yang dalam akan di rasai oleh orang-orang yang tak tahan uji sehingga batal berpuasanya, malah kadang-kadang malu-malu kucing terhadap orang-orang yang tahan uji itu.
Firman Allah :

ام حسبتم ان تدخلواالجنة ولما يأتكم مثل الذين خلوامن قبلكم مستهم البأ ساء والضراء وزلزلوا حتى يقول الرسول والذين امنوا معه متى نصرالله الا ان نصرالله قريب.(البقره: ٢١٤)

Artinya:
“Adakah kamu sekalian mengira, bahwa kamu akan masuk syurga tanpa mengalami seperti yang telah dirasai oleh orang-orang yang beriman sebelum kamu sekalian dahulu? Mereka menderita sengsara dalam kehidupan, mereka menderita bermacam malapetaka dan digoncangkan dengan bermacam bala, sehingga Rasul dan orang-orang mukmin yang menyertainya berkata “Bilakah pertolongan Allah itu akan datang?” Kemudian mereka dijawab : “Ketahuilah, bahwa pertolongan Allah itu, sungguh sudah dekat.”

Demikianlah kira-kira maksud dari ayat di atas ini, dalam menggambarkan bagaimana kita harus sabar, harus tahan uji dalam menjalankan perjuangan. Dan demikian pulalah, tercapainya cita-cita, laksana sesuatu kemuliaan yang hakiki, akan diberikan Allah sebagai ganjaran bagi orang-orang mukmin yang berjuang dengan sanggup menderita dan tahan dalam menerima bermacam godaan.

من طلب العلى نميركد * سيدركها اذا شاب الغراب.

Artinya:
“Seseorang yang menuntut ketinggian dan kemuliaan, tanpa penderitaan dan pengorbanan, akan juga dapat tercapai apabila burung gagak telah berbulu putih.”

Demikianlah S. Utsman r.a. sebagai khalifah, sebagai pemimpin dan kepala negara Islam, beliau telah gugur terbunuh karena kezhaliman dan penganiayaan lawan-lawannya. Beginilah resiko perjuangan.

Kejadian semacam ini, memang tidak hanya diterima oleh S. Utsman sendiri, Sayidina Abu Bakar r.a. wafat, karena menderita sakit akibat diracun oleh seorang Yahudi. Sayidina Umar r.a. terbunuh dan wafat diserang dan ditikam oleh lawannya ketika ia bersembahyang. Juga seperti itu, mengenai diri Sayidina Ali Karramallahu wazhah. Beliau-beliau itu berjatuhan gugur bagai bunga menambah keharuman sejarah kebenaran atas penganiayaan lawan-lawannya yang tidak ingin dan tidak suka melihat kebenaran dan hak tersebar dan membiak dikolong langit semesta ini.

يريدون ليطفؤا نورالله بافواههم والله متم نوره ولو كره الكافرون (الصف:۸)

Artinya:
“Mereka menghendaki agar supaya mati cahaya Allah (syara dan fakta kebenaran) itu dengan mulut mereka, dan Allah akan menyempurnakan jualah akan cahaya-Nya itu, meskipun orang-orang kafir merasa tidak senang.”

ولن ترضى عنك اليهود ولاالنصارى حتى تتبع ملتهم.(البقره:١٢۵)

Artinya:
“Tiadalah sekali-kali akan merasa senang dan suka dari padamu (Muhammad) orang-orang Yahudi dan Nasrani, kecuali apabila kamu mengikuti Agama mereka.”

Demikian juga kedua ayat Qur’an di atas ini memberikan gambaran kepada kita, bahwa lawan-lawan K. Nabi Muhammad itu akan senantiasa berusaha sekeras-kerasnya mengancurkan, melumpuhkan dan menindas cahaya Allah, yakni cahaya kebenaran dengan segala daya dan berbagai cara dan taktik. Tetapi, ketahuilah, bahwa Alah SWT akan menyempurnakan juga bagi cahaya-Nya itu.

Seperti juga para Khulafaurasidin r.a. itu tadi, juga dalam proses perkembangan dunia sejak dahulu sampai sekarang ini, banyak sekali contoh-contoh betapa besar dan berat pertanggungjawabannya para pemimpin dunia itu dalam mengembangkan cita-citanya.

Diangkatnya, Utsman r.a. sebagai khalifah yang ke-3 ini memang memberi nafas bagi harapan tercapainya kembali kekuasaan kaum Bani Ummayah yang sudah agak lama hilangnya itu dari tangan mereka. Yaitu sejak Abu Sufyan insyaf dan masuk Islam dan kemudian menyerah kalah dan bertekuk lutut di hadapan Rasulullah SAW, ketika ia menjadi raja di Mekkah. Yakni terjadinya “Fathul Mekkah” pada tahun kedelapan Hijriayah.

Tentu bagi S.Utsman sendiri sebagai seorang shahaby yang wara’ lagi mardiyun ‘anhu dan mahfuzh, tidalah baginya suatu maksud yang tidak/kurang baik dalam menjalankan tahta khalifahnya, tetapi sebagai kita tahu, bahwa golongan Abdullah bin Ubay bin Saba’ memang tentunya mencari-cari kesempatan untuk menyebar fitnah di kalangan kaum Muslimin, yang senantiasa ingin melihat Kaum Muslimin ini pecah belah dan berantakan.

قد بدت البغضاء من افواههم وما تجفى صدورهم اكبر.(العمران:١١۸)

Artinya:
“Sesungguhnya telah lahir kebencian dari mulut-mulut mereka, sedang apa yang tersimpan dalam dadanya masih lebih besar lagi”.

Jika kita melihat perkembangan sejarah Arab sendiri, yang perasaan bangsa Arab itu memang sangat keras, sebagi juga dinyatakan dalam Al-Quranul Karim, bahwa “Bangsa Arab itu sangat keras kufur dan nifaknya” = “Kaanal ‘arabu asyaddu kufran wanifaaqa”, dan justru karena itulah pula, K. Nabi Muhammad SAW diutus sebagai Nabi ditanah Arab. Maka teringat pulalah kita kepada perkataan Abu Sufyan yang historis (mengesankan sejaraah) pada ketika baru saja selesainya pekerjaan terbukanya kota mekah kembali itu (Fathul Mekkah).

Abu Sufyan kemudian sadar, bahwa umat Islam di bawah pimpinan Nabinya, sangat kuat sekali yang tak mungkin dapat dipatahkan. Malah kini sudah menjadi kenyataan, bahwa kekuasaannya itu tak dapat dipertahankan lagi, tertindas dan hancur tergilas sama sekali oleh kekuatan umat Islam yang membaja dan membanjir, yang kali ini mengadakan serangan umumnya yang penghabisan terhadap kota Mekkah dengan pasukan yang melimpah-melimpah itu. Abu Sufyan insyaf, bahwa kekuatan ini tak akan dapat dibendung. Ia menyerah kalah. Dan pula “Nur Islam” sudah meresap pada jantung dan jiwanya dan kemudian ia masuk Islamlah di hadapan Rasulullah SAW yang disertai pamannya S. Abas r.a. pada waktu itu.

Setelah selesai diadakannya serah terima pada upacara penyerahan kota Mekkah antara dan dari Abu Sufyan kepada Rasulullah SAW, maka Abu Sufyan berkata : ”Ya Rasulullah, katanya kepada saya bermohon diperkenankan 3 perkara:
1.Dahulu saya tukang membunuh orang-orang Muslim, sekarang saya mohon diperkenankan menjadi tukang membunuh orang-orang kafir.
2.Saya mohon, sudilah tuan suka menikah dengan seorang wanita janda yang tercantik dan tertinggi keturunannya di Negeri ini. Setelah oleh Rasulullah ditanyakan siapa wanita yang dimaksud itu, kemudian dijawabnya, yaitu Ummu Habibah anaknya Abu Sufyan sendiri.
3.Dan juga saya mohon, agar anak saya yang masih kecil ini, bernama Mu’awiyah, dijadikan anak angkat oleh Tuan.

Yang oleh Rasulullah, ketiga permohonan ini, satu demi satu dijawab dengan “ya”, dan diterima.

Ada yang mempunyai anggapan, bahwa permintaan Abu Sufyan ini mempunyai arti yang sangat politis sekali. Pandangan Abu Sufyan luas dan jauh. Pada waktu itu, kekuasaan memerintah hilang dari tangannya. Kalau Mu’awiyah anaknya yang masih kecil ini dicinta kasihi oleh Rasulullah SAW, tentu akan menyebabakan dicinta-kasihi oleh masyarakat banyak, kemudian hari nanti. Artinya, akan memberi kemungkinan, bahwa kekuasaan itu pada suatu saat akan jatuh kembali di tangan anaknya atau keturunannya.

Hisyam berkata : ”Saya mendapat keterangan dari ‘Uwanah, ia berkata : “Tatkala orang-orang berkumpul sedang mengadakan bai’at kepada S. Abu Bakar r.a. sebagai khalifah, pada waktu itu jenazah Rasulullah SAW masih terlentang yakni masih harian wafatnya ; Abu Sufyan berjalan-jalan sambil ia berkata : “Wallahi saya melihat keributan ini tak akan dapat hapus kecuali dengan darah. Wahai keluarga Abdi Manaf, bagaimana Abu Bakar dalam urusan kamu sekalian. Kemanakah sekedua orang lemah dan sekedua orang hina, yaitu Ali dan Abbas, apakah kamu berdua akan menerima begitu saja? Ya Abal Hasan (Ali), ulurkanlah tanganmu, aku akan membai’atkanmu (lebih baik) untuk kupilih menjadi khalifah.”

Ali menolak dengan keras, dan ia berkata : “Wallahi, kukira bahwa tidaklah lain maksudnya dalam hal ini hanya memfitnah belaka. Wallahi, telah lamalah dahulu kamu menentang Islam dengan bermacam kejahatan. Tak ada perlunya untuk kami menerima nasehatmu.”

Sebagai telah diterangkan diatas, bahwa terpilihnya S. Utsman r.a. menjadi khalifah ke-3 ini, melegakan nafas harapannya golongan Bani Umayah dan menjadi suatu kesempatan baik bagi golongan subversi munafikin Abdullah bin Ubay bin Saba dkk. yang senantiasa berusaaha keras untuk memecah belah kaum Muslimin itu.

Golongan Munafikin (kontra revolusioner) ini, usahanya bertambah mendapat angin sekali. Sebab secara kebetulan sekali, politik dan siyasah khalifah S. Utsman r.a. ini, agak berbeda dengan yang dijalankan oleh kedua khalifah sebelumnya, yaitu dari siyasat yang telah dijalankan oleh S. Abu Bakar r.a. dan S. Umar r.a.

Sayidina Utsman r.a. bependapat (mempunyai ijtihad), bahwa dalam pemerintahan (khalifah) di bwah pimpinannya ini, perlu diadakan rituling (perubahan) pembesar-pembesar negara secara besar-besaran. Yang hasilnya dari perubahan itu, kebanyakan adalah terdiri dari famili dan orang-orang yang dekat dengan beliau, sehinnga mirip dengan suatu pemerintahan aristokratis. Usaha ini dilakukan beliau (sudah tentu dengan ijtihad) demi untuk bertambah kuat dan lancarnya pemerintahan di bawah tahtanya itu.

Pada mula-mula beliau memegang tampuk pemerintahan itu, segara memecat Al-Mughirah bin Syu’bah sebagai wali (gubernur) di Kuffah pada waktu itu. Al-Mughirah dipecat dan diganti oleh Sa’ad. Tidak lam Sa’ad digantinya pula dengan Walid bin Aqbah (26 H), pada tahun 30 H. Digantikan lagi oleh Sa’id bin Amr bin Ash. Gubernur Mesir Amr bin Ash diganti dengan Adullah bin Sa’ad bin Abi Sarh. Kemudian juga Abu Musa Al-Asyari di Basrah diganti dengan Abdullah bin Amir bin Kuraizh seorang pemuda yang baru berumur 25 tahun.

Mungkin karena politik demikianlah, menyebabkan terjadinya pembunuhan mengenai diri beliau sebagai khalifah, setelah rumah kediaman beliau dikepung oleh beberapa banyak orang lawan-lawannya. Dimana beliau sedang membaca AL-Qur’an dengan khusunya, beliau wafat terbunuh. Inna lillahi wainna illahi raji’un.

Peristiwa pembunuhan ini, menggemparkan masyarakat Arab dan pemerintahan Islam. Kabut hitam meliputi dunia Islam pada waktu itu. Peristiwa yang menggemparkan ini, terjadilah pada hari Jum’at tanggal.18 Julhijjah tahun 36 Hijriah ba’da ‘Asar.

Negeri Madinah menjadi berkabung dan penuh dengan perasan cemas dan prihatin bagi semua penduduk semua lapisan. Orang-orang menjadi kalang kabut dan panik.
Berkata Muhammad ibnu Hanafiyah : “Pada ketika terjadinya pembunuhan Khalifah Saidina Utsman, saya bersama Ubay melihat Ali r.a. masuk ke rumahnya, maka datanglah beberapa banyak sahabat Rasulullah SAW berdatangan ke rumah Ali dan seraya berkata : “Khalifah Utsman telah meniggal terbunuh, sedang bagi umat ini tak boleh tidak wajib mempunyai imam. Pada waktu ini, kami semua tiada melihat lain, kecuali engkaulah yang lebih berhak dalam hal ini yang patut menjadi Imam itu. Tak adalah yang terdahulu memegang Agama Islam dan tak adalah pula yang paling dekat dengan RasulullahSAW.”

Ali menjawab dan berkata : “Janganlah saudara-saudara bertindak demikian, buat saya lebih baik dan lebih suka hanya menjadi wazir saja dari pada saya menjadi Amir”. Kemudian dijawab mereka pula : ”Tidak, kami tidak akan berbuat sesuatu kecuali akan membai’at engkau juga.”

Ali kemudian berkata : “Jika demikian, saya minta supaya kita bersama-sama ke masjid, sehingga membai’at saya itu jangan seolah-olah dirahasiakan. Tapi harus secara terang-terangan dan harus dengan ridho semua kaum muslimin”.

Kata Salim bin Abil-Dja’d : “Abdullah bin Abbas r.a. pada waktu itu menyatakan tidak setuju bila pembai’atan dilakuan di mesjid, sebab, katanya khawatir, akan tetapi Ali tetap menolaknya. Dan kemudian mereka semua masuk ke Masjid Nabawi itu. Masuk pula sahabat-sahabat Muhajirin dan Anshar, maka disanalah mereka melakukan “bai’at” kepada S. Ali r.a. yang kemudian diikuti pula oleh orang-orang banyak.”

Abi Basyir Al-Abidi berkata : “Pada waktu terjadinya pembunuhan Utsman, saya berada di Madinah. Pada waktu itu berkumpulah sahabat-sahabat Muhajirin dan Anshar. Diantaranya Zuber dan Thalhahpun ada. Mereka mendatangi Ali r.a., kemudian mereka berkata : “Hai Abdul Hasan mari kemari kami akan membai’at engkau”. Ali menjawab : “Saya tidak dapat menerima maksud saudara-sudara itu, ikhtiar sajalah yang lain. Dan wallahi bersama saudara-saudara saya akan ridha kepada siapa yang saudara-saudara akan bai’atkan dia.” Jawab mereka pula : “Kami tiada memilih yang lain, selain kepada saudara-saudara saja”.

Maka pulang pergilah mereka datang kepada Ali setelah Utsman terbunuh itu dan akhirnya mereka berkata : “Tiadalah akan terdapat kemaslahatan bagi umat ini, jika terdapat kekosongan (vacuum) pimpinan negara ini, sedang hal yang sedemikian ini sudah berlarut-larut.” Akhirnya Ali agak mengalah juga dan ia berkata : “Baiklah, Saudara-saudara akan memilihku menjadi Khalifah. Dan untuk itu saudara-saudara berulang-ulang datang kemari, tapi, saya ada permintaan. Jika saudara-saudara terima permintaanku ini, baiklah saya kabulkan pula permintaan saudara-saudara itu. Jika tidak, saya tak akan dapat menerimanya pula”. Dan dengan serentak mereka berkata : “Baiklah, tentu kami akan menerima syarat-syarat saudara-saudara itu.”

Maka naiklah Ali keatas mimbar, kemudian ia berkhutbah : “Saudara-saudara, sungguh saya menolak permintaan saudara-saudara itu, tetapi saudara-saudara berkeras juga minta kepadaku supaya aku terima. Ketahuilah, bahwa saya tak dapat berbuat sesuatu apapun tanpa saudara-saudara. Kecuali bahwa terbukanya sesuatu itu adalah dilakukan antara saudara-saudara bersama dengan saya. Dan kethuilah pula, bahwa saya taka akan dapat menghasilkan apa-apa tanpa saudara-saudara sekalian. Bagaimanakah saudara-saudara terima demikian dan ridhakah saudara-saudara?“ Jawab mereka : “Ya kami semua ridha dan sanggup.”

Setelah itu, Ali berdo’a : “Ya Allah, sahkanlah.” kemudian, barulah dilakukan mereka pembai’atan terhadap Ali r.a. itu.

Kata Abu Basyir : “Ketika itu saya berada duduk di samping mimbar Rasulullah SAW dan saya mendengar sesuatu perkatan mereka.”

Dari beberapa keterangan diatas tadi, dapatlah diketahui, bahwa Saidina Ali r.a. dibai’atkan dan dilpilih oleh para sahabat Muhajirin dan Anshar. Dipilih pada ketika jenazah Saidina Utsman masih ada. Apakah sebab, maka pemilihan khalifah secepat itu? Yaitu, karena pendapat dan ijtihad mereka, agar pemerintahan jangan sampai mengalami kekosongan (vacuum) dari pimpinan, sehingga pembunuhan khalifah itu agar dapat diselesaikan dengan secepat mungkin. Jangan sampai terjadi kekacauan yang lebih dahsyat lagi. Agar luka jangan lebih parah lagi.

Para sahabat Muhajirin dan Anshar pada umumnya, menyatakan pilihan (bai’at) nya terhadap Saidina Ali r.a. kecuali segolongan kecil dari Anshar yang tidak mau menyatakan pilihannya. Diantaranya, Hasan bin Sabit, Muhammad bin Maslamah, Nu’man bin Basyir, Zaid bin Tsabit , Rafi’ bin Khuday, Fadlalah bin Ubed, Ka’bah bin Udjrah. Mereka adalah Utsmaniyah. Mereka mempunyai pendapat lain. Mereka berpendapat, sebaiknya janganlah pilihan khalifah itu didahulukan, tetapi pembunuhan khalifah Utsmanlah perlu diselesaikan terlebih dahulu. Mereka berpegang kepada ayat :

ومن قتل مظلوما فقد جعلنا لوليه سلطانا فلا يسرف في القتل انه كان منصورا.(الاسراء:۳۳)
Artinya:
“Seseorang yang mati dibunuh karena dianiaya, maka sesungguhnya kami jadikan kekuasaan bagi walinya (ahli warisnya), maka janganlah ia melewati batas dalam membunuh si pembunuhnya itu, (seperti membunuh seperti orang selain dari pembunuhnya), sesungguhnya ia (si-wali) adalah orang yang ditolong.”

Dengan ayat ini mereka berpendapat bahwa yang lebih didahulukan penjelasannya, adalah tentang pembunuhan itu, dicari siapa pembunuh dan komplotannya. Adapun pemerintahan diserahkan kepada wali (ahli waris) yang dibunuh itu, di sini artinya S. Utsman. Maka dari itu ahli waris Utsmanlah yang berhak menggantikan kedudukannya ahli waris (wali) dari Utsman ini adalah Muawiyah. Dialah yang berhak menggantikan Utsman memegang kekuasaan, bukannya Ali sebab ia bukan wali (ahli waris) dari Utsman.

Salah seorang sahabat ditanya orang, ‘Abdullah bin Hasan namanya : ”Mengapa mereka tak mau membai’at kepada Ali?” Jawabnya : ”Hasan seorang ahli syair, kurangnya perhatian terhadap proses politik (tidak memperhatikan soal-soal kenegaraan), Zaid bin Tsabit memimpin dewan dan memimpin Baitul Mal pada waktu itu.”

Menurut keterangan Zuhri, mereka berlari ke Syam dan mereka tidak membai’at kepada Ali. Juga Qudamah bin Mazh’un, Abdullah bin Salam, dan Al-Mughirah bin Syu’bah tidak membai’atnya. Juga kata sebagian lain, bahwa Zuber dan Thahah, menjalankan bai’atnya itu karena terpaksa.
Beberapa hari kemudian, khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. mengangkat beberapa orang untuk menjadi wali-wali kota di beberapa daerah dan akan dikirim kesana.

Utsman bin Hanif dikirim ke Bashrah. ‘Imaran bin Syihab dikirim ke Kuffah. ‘Ubaidiah bin Abas dikirim ke Yaman. Qais bin Sa’ad dikirim ke Mesir. Sahah bin Hanif ke Syam.

Akan tetapi Sahal bin Hanif ini diperjalanan yaitu setibanya di Tabuk, ia berjumpa dengan serombongan orang-orang berkuda. Kemudian Sahal ditanya : “Mau kemanakah engkau dan mepunyai maksud apa ?” Sahal menerangkan, bahwa ia diutus khalifah Ali ke Syam dan ia akan menjabat Wali (Amir) disana. Maka rombongan itu, menerangkan pula kepada Sahal, bahwa lebih baik pulang kembali sajalah, jangan meneruskan maksud ini, sebab Muawiyah pasti akan menentangnya dan nanti akan menjadi fitnah besar; karena Muawiyah tidak akan menrima keangkatan Ali ini.

Adapun Qais bin Sa’ad di tengah perjalanan, yaitu sesampainya di Ailah, iapun bertemu dengan satu rombongan (kafilah). Rombongan itu bertanya kepada Qais, apa maksudnya dan akan pergi kemana. Qais menjawab, bahwa ia dari golongan Utsman akan mencari siapa yang akan membela Utsman. Dan karena itu rombongan mengijinkan untuk Qais terus ke Mesir.

Keadaan Mesir menjadi goncang dan menjadi pecah. Satu firqah menyetujui akan keangkatan Ali, satu firqoh lain bersikap menunggu (wait and see), jika pembunuh-pembunuh Utsman sudah tertangkap baru akan menyetujui keangkatan Ali itu, jika tidak mereka akan terus berjuang sampai tertangkapnya dan hasil maksud. Sedangkan firqoh yang ketiga berpendirian akan berada bersama Ali selama kaumnya tiada di pecah belah. Semua kejadian ini oleh Qais dilaporkan kepada Amiril Mukminin ( Ali r.a.) di Madinah.

Adapun Utsman bin Hanif, setibanya di Bashrah, tiadalah ada suatu penolakan baginya. Ibnu Amir walikota Bashrah yang digantikan olehnya, tiada mempunyai dan memberikan reaksia apa-apa. Ia menerima saja, Sami’nan watho’atan. Dan kaumnya pun menerima keangkatan Ali itu, kecuali sebagian kecil saja yang bersikap menunggu dan melihat keadaan di Madinah bagaimana perkembangannya nanti.

Bagaimana nasibya ‘Imarah bin Shihab yang dikirim ke Kuffah. Setibanya di Jualah, ia berjumpa dengan Talhah bin Khuailid yang pada waktu menerima khabar kematian Utsman, ia akan berkeras menuntut darah siapa yang melakukan kezaliman itu. Kepergiannya ke Kuffah, ia akan mencari orang-orang yang sanggup membelanya dalam penuntutan darah ini, ia menyuruhnya agara Imarah segera kembali pulang saja ke Madinah.

Berita menyangkalnya Muawiyah di Syam akan keangkatan Ali sebagai Khalifah (memberontaknya Muawiyah) sudahlah tersiar ke segenap wilayah. Telah sampai pula berita ini ke Mekkah. Para shabat di Mekkah sangat menunggu-nunggu bagaimana sikap Ali sebagai Khalifah menghadapi Muawiyah di Syam, menghadapi yang sama-sama ahlil Qiblah. Dalam hal ini, termasuk juga Sayidina Aisyah ummul mukminah r.a. yang beliau ketika itu masih berada di Mekkah, karena akan melakukan umrah Muharram.

Kedatangannya dua tokoh di Mekah, yaitu Thalhah dan Zuber bin Awam ini atas ijin Amiril Mukminin (khalifah) karena akan mengerjakan Umroh juga, keadaan menjadi jelas. Apa yang terjadi di Mekkah dan bagaimana sikap Ali selaku khalifah dalam menghadapi Mu’awiyah dan gerakannya ini. Yaitu Mua’awiyah akan digempur.

Dalam hal ini S. Aisyah r.a. berpendapat sama dengan Mu’awiyah. Beliau tidak menyetujui keangkatan Ali ini. Yang perlu, penyelesaian pembunuhan S. Utsmanlah yang harus didahulukan. Karena itu beliau mengadakan perundingan dengan Thalhah dan Zuber yag baru datang dari Madinah itu. Berkeputusan, ketiga beliau ini berangkatlah ke Bashrah untuk mencari kawan-kawan yang sepaham. Di sana mendapatkan angin baik juga.

Berita berontaknya Umul Mukminin S. Aisah r.a. yang disertai Thalhah dan Zuber ini diterima Amiril Mukminin sangat mengagetkan.

Karena dipandang kekuatan Aisyah r.a ini oleh khalifah Ali r.a lebih kecil dari pada kekuatan Mu’awiyah di Syam, lebih-lebih setelah ternyata bahwa Amr bin Ashpun sudah memihak pula kepadanya (Mu’awiyah), maka tentara khalifah ini lebih dahulu ditujukan untuk menggempur Bashrah (tentara Aisyah) dan penggempuran ke Syam dibelakangkan.

Maka terjadilah pertempuran antara tentara Ali dan tentara Aisyah. Pertempuran ini dinamakan “Waq’atul Jamal”. Dinamai peperangan Jamal, karena Siti Aisyah r.a. pada waktu itu mengendarai seekor Jamal (unta) yang digunakan waktu berperang.

Peperangan ini diakhiri dengan kekalahan Siti Aisyah r.a. puluhan ribu manusia berjatuhan menjadi korban pada peperangan ini. Sebagian dari tentara Aisyah dan sebagian dari pasukan Ali. Sedang Umul Mukminin sendiri dapat diselamatkan dan ditawan, Thalhah bin Zuber gugur di medan juang.
Setelah selesai peperangan Jamal ini, Ali menghadapi Mu’awiyah. Karena pasukan Ali ini terdiri dari tentara yang cukup terlatih, dapatlah mereka memberi pukulan-pukulan yang cukup berat, hebat dan dahsyat bagi pasukan Mu’awiyah.

Tentara Mu’awiyah tidaklah dapat menahan akan kekuatan tentara Ali ini, sehingga mereka banyak kali terpukul mundur. Akan tetapi mereka tidaklah berputus asa dalam menghadapi kekalahan-kekalahan ini. Mereka menggunakan kecakapan akalnya. Yang kemudian pada suatu saat, mereka menggunakan suatu taktik dan siasat yang cocok dengan timingnya. Yaitu mereka melekatkan “Mushaf Qur’an” pada ujung tombak-tombak mereka dengan maksud agar supaya diadakan perdamaian (shulh) dan gencatan senjata. Agar Ali dapat menerima ajakan ini, suatu ajakan perdamaian dan kembali kepada Qur’an.

Oleh karena itu, Ali mendapat desakan yang keras dari sebagian tentaranya (sebenarnya tentara yang mendesak ini adalah yang nantinya menjadi Kaum Khawarij), agar supaya ajakan tentara Mu’awiyah ini diterimanya. Sebab suatu ajakan yang baik mereka akan kembali kepada hak. Akan kembali kepada Mushaf Qur’an.

Mereka yang mendesak Ali r.a. ini, agar ajakan golongan Mu’awiyah itu diterima, tentunya golongan yang lemah semangat berperang dan yang lemah pual imannya beserta diliputi juga oleh gejala-gejala roh kemunafikan dan terpengaruh oleh Sabaaiyah.

Akan tetapi, Ali menolak dengan keras ajakan ini, penolakannya ini disepakati oleh sebagian tentaranya. Ali berpendapat, bahwa ajakan shulh (perdamaian) itu, hanyalah suatu move yang tidak bernilai dan suatu khidah tipu muslihat belaka.

Tetapi sayang penolakan Ali ini hanya dapat dipertahankan sementara waktu saja. Akhirnya karena sangat keras dan kerasnya desakan itu, sehingga timbulah dalam fikiran, rasa khawatir, kalau-kalau timbul perpecahan di kalangan pasukannya sendiri. Kemudian diterimanya jugalah oleh Ali r.a. ajakan Mu’awiyah r.a. itu (adanya gencatan senjata) untuk megadakan perdamaian (shulh) antara kedua belah pasukan itu.

Peristiwa ini dinamai oleh sejarah dengan peristiwa “Shiffin”, karena tatkala itu pertempuran-pertempuran terjadi di suatu tempat yang bernama Shiffin.

Dengan mengambil tempat di “Daumatul Jandal” berkumpulah kedua golongan perutusan dari pasukan Ali dan pasukan Mu’awiyah untuk mengadakan “perundingan” perdamaian itu.

Kedua golongan masing-masing mengirimkan perutusan (delegasi) dengan jumlah yang sama. Yaitu sebanyak 400 orang. Delegasi Ali dikepalai oleh Abu Musa Al-Asy’ari r.a., sedang delegasi Mu’awiyah dibawah pimpinan Amr bin ‘Ash.

Sebelum perundingan paripurna dari kedua rombongan perutusan itu diadakanlah lebih dahulu suatu “Perundingan Pendahuluan “ antara kedua kepala delegasi itu, Abu Musa Al-Asy’ari r.a. dan Amr bin ‘Ash.

Amr bin ‘Ash memang ia seorang diplomat yang ulung dan kenamaan. Cakap berdiplomasi dengan lawan dan kawan. Kepada Abu Musa Al-Asy’ari ia mengajukan pendapatnya dan ia minta, agar nanti pada waktunya, dalam sidang paripurna dari perundingan shulh dan perdamaian itu masing-masing (ia dan Abu Musa) mengajukan pendapatnya lebih dahulu untuk menjadi pertimbangan para anggota.

Setelah pendapatnya ini diterima baik oleh Abu Musa, kemudian Amr bertanya : “Bagaimanakah maksud saudara dalam perundingan ini?” jawab Abu Musa : ”Ya, kita perlu berdamai, perlu terdapatnya ishlah antara kita sesama ummat muslimin ini. Pemerintahan Islam ini supaya tidak terpecah-pecahseperti sekarang. Kesatuan pemerintahan supaya pulih kembali. Oleh karena itu, kedua khalifah ini, yaitu Ali dan Mu’awiyah kita ma’zulkan (pecat)dan setelah itu kita serahkan kepada ummat yang berunding ini, kepada siapa mereka memberikan pilihannya itu terserah.”

Jawab Amr: “Pertimbangan saudara itu memang benar dan saya setuju sekali, baiklah saudara kemukakan saja pertimbangan demikian itu kepada majlis perdamaiaai itu nanti. Dan saya berpendapat, saudaralah yang berbicara lebih dahulu. Saudara lebih hak daripada saya untuk berbicara lebih dahulu, karena saudara lebih tua dari saya dan lebih akrab hubungan dengan Rasulullah SAW dahulu.”

Rayuan diplomatis Amr bin ‘Ash ini, memang enak didengar dan menyenangkan hati, akan tetapi maksud yang sebenarnya yaitu mengharapkan agar Abu Musa berbicara lebih dahulu dan dengan sendirinya Abu Musa sebagai kepala delegasi telah mengumumkan dalam perundingan ini tentang dima’zulkannya (dinyatakan berhentinya) Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Atau dengan lain perkataan, bahwa Abu Musa selaku kepala perutusan pihak Ali telah mengadakan pengakuan bahwa Ali bin Abi Thalib diberhentikan dari khalifah. Sedang Mu’awiyah olehnya nanti akan dinyatakan tetap sebagai khalifah.

Dengan tidak ada syak wasangka sedikitpun, Abu Musa tampilah ke muka untuk menyatakan pendapatnya itu tadi. Meskipun sebetulnya, ia telah diperingatkan lebih dahulu oleh Ibnu Abbas agar hati-hati. Jangan terjebak dan kena perangkap tipu muslihatnya Amr bin ‘Ash itu.

Berkatalah Abu Musa: “Wahai saudara-saudara kaum muslimin sekalian. Kami (ia dan Amr maksudnya) menimbang; bahwa demi untuk kemaslahatan ummat Islam sekarang ini, tiadalah alternatif (jalan) lain, kecuali kita bersama-sama, menyatakan pemecatan Ali dan Mu’awiyah dari kedudukannya masing-masing sebagai khalifah dan kemudian terserahlah kepada saudara-saudara sekalian; marilah kita bersama-sama mengadakan pilihan baru, siapakah yang kita angkat, yang akan mejalankan pimpinan ini sebagai khalifah yang menggantikan dari keduanya yang kita pecat itu, yang lebih ahli.”

Kemudian setelah itu, dengan cekatannya tampilah Amr bin ‘Ash ke muka, serta dengan lantang pula berbicara: “Saudara kaum Muslimin sekalian, sebagai saudara-saudara telah mendengar, Abu Musa tadi telah menyatakan bahwa khalifahnya Ali bin Abi Thalib telah dipecatnya. Dan sayapun memperkuat pemecatan Ali bin Abi Thalib itu. Dan dengan ini saya menyatakan tetapnya Mu’awiyah sebagai khalifah.” Dan sekali lagi tetaplah ia menjadi khalifah, karena juga dialah wali dari Utsman bin Affan. Maka lebih berhaklah ia menjadi khalifah itu.”

Karena demikian, majlis perundingan menjadi goyang dan ribut dan bubarlah. Kemudian ahli Syam, yaitu Amr bin ‘Ash dan kawan-kawannya pulang menuju Syam dan melaporkan kepada Mu’awiyah. Sedang Ibnu Abbas, Syurokh bin Hanif dan kawan-kawan memberi laporan kepada Ali bin Abi Thalib r.a.

Menurut Al-Waqidi, perundingan “Daumatul Jandal” terjadi pada bulan Sya’ban tahun 38 H. Orang-orang (pasukan tentara) yang pura-pura tiada setuju atas adanya perundingan ini, keluarlah mereka memberontak dan memusuhi Ali r.a. dan mereka itulah yang dinamakan Khawarij.Dan dengan ini ummat Islam menjadi pecah tiga satu golongan di bawah pimpinan Ali bin Abi Thalib kedua golongan di bawah pimpinan Mu’awiyah dan ketiga kaum Khawarij.

Sebagai telah diterangkan, bahwa pada hakekatnya terjadinya gencatan senjata di Shiffin dan kemudian perundingan “Daumatul Jandal” ini adalah karena desakan mereka juga (kaum yang lemah yang akhirnya menjadi khawarij), agar Ali menerima ajakan Amr bin ‘Ash. Akan tetapi mereka berpura-pura tidak setuju dengan adanya gencatan senjata dan perundingan itu. Akhirnya mereka keluar menjadi khawarij bukan saja menentang Mu’awiyah, tetapi juga menentang Ali. Mereka bersemboyan “LAHUKMA ILA LILLAH” tak ada hukum yang patut dipatuhi hanya hukum Allah saja. Dengan kejadian ini, ummat Islam menjadi pecah tiga. Pimpinan Ali, pimpinan Mu’awiyah dan Kaum Khawarij. Ketiga golongan ini sejak itu terus menerus bertempur satu sama lain.

Pada tahun 40 H, terjadilah suatu peristiwa yang lebih menyedihkan lagi yaitu terjadinya pembunuhan terhadap Sayidina Ali r.a. yang dilakukan oleh tindakan kaum Khawarij, “La’natullaahi ‘alaihim”. Dengan suatu rencana yang teratur Abdurrahman bin Muljam berangkat menuju Kuffah untuk melakukan pembunuhan terhadap Sayidina Ali bin Abi Thalib, Al-Baraq bin Abdullah berangkat menuju ke Syam untuk melakukan pembunuhan terhadap Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Dan Amr bin Bakar At-Tamimi menuju ke Mesir akan membunuh Amr bin ‘Ash.

Rencana pembunuhan dilakukan dalam waktu yang bersamaan hari bulan dan tanggalnya. Yaitu dilakukan pada malam Jumat tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H. dan dilakukan pada ketika keluar dari rumahnya masing-masing manakala menuju ke (masuk) masjid akan mengerjakan sembahyang berjamaah Shubuh.

Sesuai dengan rencana, maka pada malam tersebut, sampailah kepada ajal Sayidina Ali bin Abi Thalib karamallaahu wajhah mati terbunuh atas penghianatan yang dilakukan oleh seorang khawarij Abdurrahman bin Muljam tadi “la’natullah allaih”.

Menurut keterangan Harits dari ibnu Sa’ad dari Muhammad bin Umar, bahwa pembunuhan Ali bin Abi Thalib dilakukan pada malam Jumat 17 Ramadhan tahun 40 H. dan meninggal pada malam Ahad 19 Ramadhan 40 H dalam usia 63 tahun.

Bagaimana Al-barak bin Abdullah yang berangkat ke Syam? Sampailah ia disana. Pada waktu yang ditentukan itu, ditunggulah Mu’awiyah di masjid. Untunglah bagi Mu’awiyah, hanyalah ia kena pantatnya saja, meskipun luka tetapi tidak membawa kematiannya. Malah lebih beruntung lagi bagi Amr bin ‘Ash di Mesir. Pada ketika ia ditunggu oleh Amr bin Bakar At-tamimi ia tidak keluar dari rumahnya ke masjid karena ia sakit perut. Kharijah bin Habib Assahawi menggantikannya menjadi imam pada shubuh itu. Maka Kharijahlah yang mati terbunuh ketika itu.

Setelah Ali bin Abi Thalib meninggal dunia, maka segera di bai’at oranglah Hasan bin Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang menggantikannya.

Hasan bin Ali r.a. tak dapat ia berlama-lama memegang pimpinan dalam pemerintahan ini, hanya dalam masa satu tahun kurang saja (40-41 H). Karena ia tak tahan hati melihat fitnah berkecamuk dan perpecahan yang hebat dahsyat di kalangan sesama ummat Islam, yaitu antara ummat Islam di bawah pimpinan pemerintahan Mu’awiyah r.a. dan di bawah pimpinannya sendiri itu. Sebagai cucu Baginda Rasulullah SAW ia berlapang dada. Lebih suka ia meninggalkan kedudukan sebagai khalifah dan kepala negara, turun dari tahta kehormatan yang tinggi untuk duduk bersama-sama rakyat banyak daripada terus menerus terjadinya fitnah dan perpecahan diantara sesama kaum Muslimin.

Ia ridho meninggalkan tahta pemerintahannya, asal saja dapat dihentikan tindakan-tindakan mencaci maki terhadap ayahandanya Ali bin Abi Thalib yang sudah marhum itu.
Sifat ra’fah dan rahmah Sayidina Hasan ini, memang setengah abad yang lalu telah menjadi ramalan Rasulullah SAW sendiri.

في صحيح البخاري من حديث الحسن عن ابى بكرة ؤضى الله عنه قال ان رسول الله صلى الله عليه وسلم خطب يوماومعه على المنبار الحسن بن على رضى الله عنهما فجعل ينظر اليه مرة والى الناس اخرى ويقول ان ابنى هذا سيد ولعل الله تعالى ان يصلح به بين فئتين عظيمتين من المسلمين.

Artinya:
“Dalam Sahih al-Bukhari mengenai S. Hasan dari Abi Bakrah r.a. ia berkata : “Bahwa Rasulullah SAW pada suatu hari khutbah dan disertai cucunya Hasan di atas mimbar. Beliau kadang-kadang melihat kepada cucundanya dan kadang-kadang melihat pula ke arah orang banyak. Beliau bersabda: “Sesungguhnya anakku ini (Hasan) ia akan menjadi pemimpin, semoga Allah ta’ala akan memperdamaikan dengan dia antara dua kaum yang besar daripada Ummat Islam.”

Maksud baik dari Sayidina Hasan ini disampaikan kepada Mu’awiyah r.a. tentu saja uluran tangan yang baik ini diterima oleh Mu’awiyah dengan gembira. Dan sejak itulah pemerintahan Islam menjadi bersatu kembali.

Peristiwa ini disebut oleh sejarah dengan “Aamul Jama’ah” artinya “Tahun Kesatuan”. Kaum Muslimin di bawah pimpinan S. Hasan ini, tidaklah semuanya menerima akan beleid dan kebijaksanaan khalifahnya ini. Mengapa khalifahnya itu terlalu lemah dan tidak konsekwen. Dan karena kaum Muslimin di bawah pemerintahan S. Hasan inipun menjadi pecah pula. Sebagian patuh dan ta’at, kemudian menggabungkan diri dengan pemerintahan Mu’awiyah, tetapi sebagian lagi mereka menentang dengan kerasnya. Mereka ini berdiri sendiri, mereka tidak senang dan menolak keputusan S. Hasan ini. Mereka inilah yang dinamai golongan “Syiah”, golongan yang terlalu mencintai S. Ali yang kadang-kadang cintanya melewati batas. Cinta yang berlebih-lebihan. Sebagai golongan Khawarij, mereka membenci S. Ali dengan yang berlebih-lebihan pula. Syiah golongan iftrath, Khawarij tafrith.

Sebagian kaum Syiah ada yang beri’tiqad bahwa Malaikat Jibril itu kesalahan memberikan wahyu, semestinya kepada Ali bin Abi Thalib, bukanlah kepada Muhammad, Na’udzubillah. Ada juga yang beri’tiqad, bahwa kuburan Ali itu bukan di bumi tapi di atas awan. Tapi perlu juga diketahui, bahwa Syiah itu tidaklah semuanya kufur. Ada sebagian yang tidak kufur. Syiah Zaidiyah dan Imamiyah itu tidak kufur. Ummat Islam di Yaman pada umumnya mereka golongan Syiah Imamiyah. Insya Allah, uraian yang lebih panjang, nanti di bawah akan diterangkan ala kadarnya.

Kaum Khawarij mengkafirkan kepada S. Ali bin Abi Thalib, juga kepada orang yang mengerjakan dosa besar. Maka dengan ini kita ketahui, bahwa sejak terjadinya “Kesatuan” ini, Ummat Islam menjadi tiga golongan. Pertama golongan “Jamaah”, kedua golongan “Khawarij” dan ketiga golongan “Syiah”.

golongan “Jamaah” adalah pemerintahan dan ummat di bawah pemerintahan yang syah (Mu’awiyah). Golongan Khawarij dan Syiah adalah golongan-golongan “Bughat”, golongan-golongan pemberontak. Maka ummat Islam di bawah pemerintahan yang syah inilah dinamakan “Al-Jamaah” atau disebut juga “Ahli Sunnah wal-Jamaah”. Jadi dengan ini diketahui bahwa setiap ummat Islam yang berada dalam suatu pemerintahan yang syah, itu ummat Islam “Ahli Sunnah wal-Jamaah”, dan setiap ummat Islam yang keluar dari kesatuan pemerintahan yang syah, mereka namanya ummat Islam pemberontak bahasa dan istilah Arabnya “Bughat”. Mereka yang taat dan patuh pula mengikuti berjamaah dengan/di dalam pemerintahan yang syah, mereka Ahli Sunnah wal-Jamaah. Taat dan patuh kepada suatu pemerintahan yang syah, adalah diperintahkan dan diwajibkan oleh Agama Islam. Yang taat dan patuh kepada suatu pemerintahan yang syah, berarti taat dan patuh kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

Tiap ummat Islam, wajib taat kepada Allah, wajib taat kepada Rasul, pula taat kepada pemerintahannya yang syah. Baharulah ia menjadi seorang ummat Islam “Ahli Sunnah wal-Jamaah”. Seorang Ahli Sunnah wal-Jamaah, tiada cukup bila hanya taat kepada Allah dan rasul saja, tapi tiada taat kepada pemerintah. Dan atau sebaliknya. Firman Allah dalam Al-Quran QS. An-Nisa: 59:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَطِيۡـعُوا اللّٰهَ وَاَطِيۡـعُوا الرَّسُوۡلَ وَاُولِى الۡاَمۡرِ مِنۡكُمۡ‌ۚ فَاِنۡ تَنَازَعۡتُمۡ فِىۡ شَىۡءٍ فَرُدُّوۡهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوۡلِ اِنۡ كُنۡـتُمۡ تُؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰهِ وَالۡيَـوۡمِ الۡاٰخِرِ‌ ؕ ذٰ لِكَ خَيۡرٌ وَّاَحۡسَنُ تَاۡوِيۡلًا

Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu sekalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan juga kepada Ulil Amri dari antara kamu sekalian.”

Jadi, orang-orang mukmin (ummat Islam) wajib taat kepada Allah taat kepada Rasul-Nya dan wajib pula taat kepada Ulil Amrinya.

Apakah arti “Ulil Amri”? ialah suatu “lembaga pemerintahan” yang beranggotakan banyak orang. Bukan suatu lembaga yang mempunyai anggota satu dua orang saja. Kalimat “Uli” adalah kalimat “Mulhak jama’ mudzakar salim”, artinya kalimat yang “diserupakan dengan jama’ mudzakar salim”. Diserupakan/menyerupai jama’. Tapi bukan “jama’. Kalau suatu kalimat “jama’” ada mempunyai kalimat “mufrad-nya”. Kalimat “Zaeduuna”, kalimat “jama’ mudzakar salim”, kalimat “mufrad-nya” zaedun, “Kalimat ‘A-limuuna” artinya orang alim banyak, kalimat “mufrad-nya “alim” artinya seorang yang alim.

Kalimat “Ulil Amri” dalam Al-Quran itu, kalimat “mulhaq jama” mudzakar salim, bukan kalimat “jama mudzakar salim”. Maknanya “orang-orang pemegang / pemelihara urusan” katakanlah saja di sini “urusan pemerintahan”. Makna ini, yakni makna “orang-prang pemegang urusan” bisa Bahasa Arabnya diganti dengan “Ashhabul Amri” atau “Auliyaul Amri”. Tetapi apalah hikmat dan sebabnya dalam ayat di atas itu dengan kalimat “Ulil Amri itu?” kalau “Ashab”, suatu kalimat jama yang mufradnya shahib. Kalau kalimat ”Auliya” itupun kalimat “jama” yang ada mufradnya, yaitu “waliy”. Adapun “Uli” kalimat “mulhaq jama”, yang tiada mempunyai kalimat mufradnya meskipun maknanya jama juga, yaitu orang-orang banyak pemegang urusan, ulil amri itulah artinya suatu “lembaga yang terdiri dari orang banyak”.

Jelasnya kalau di negara kita Republik Indonesia ini, lembaga yang dimaksud ini adalah Majlis Permusyawaratan Rakyat atau MPR dan Parlemen, yang fungsinya Pembuat Undang-Undang. Tiada akan dikatakan lembaga MPR atau Konstituante DPRGR atau Parlemen, kalau tidak terdiri dari orang-orang banyak (beranggotakan orang banyak). Lembaga-lembaga ini suatu lembaga yang harus terdiri dari yang orang banyak, Bahasa Arabnya “jama”, tetapi tidak ada mufradnya, karena itu perkataan semacam ini dinamakan “serupa dengan banyak” Bahasa Arabnya “mulhaq jama”.

Lembaga “Konstituante” terdiri dari orang-orang banyak. Kalau mufradnya artinya perorangannya, itu bukan konstituante, tetapi anggota konstituante namanya. Baru mempunyai fungsi seperti apa yang dimaksud dengan lembaga “Konstituante”, apabila para anggotanya berkumpul. Dengan berkumpulnya para anggota itu, dan mencapai jumlah yang hadir sesuai dengan corum yang ditentukan dalam prosedur tata tertib persidangan, maka dapatlah konstituante itu membikin Undang-Undang Dasar Negara. Akan tetapi, perorangan anggotanya, mufradnya tentu tidak bisa. Demikian jugalah yang disebut “Parlemen” sidang-sidang paripurnanyalah yang dapat membikin atau membatalkan undang-undang itu. Adapun perorangan anggotanya, mufradnya tidak bisa.

Oleh karena itu. Ashabul Amri, atau Auliyaul Amri, tidak bukan berarti “Konstituante” atau “Parlemen”, sebab, kalimat jama yang ada mufradnya.

“Waliyul Amri” dapat diartikan “Kepala Negara”. Biasa juga dengan istilah “Amir” atau “Kholifah” atau juga “Sultan” dan “Imam”. Hanya kalau perkataan Waliyul Amri, amir dan Khalifah menjadi istilah (biasanya) bagi seorang kepala negara yang dipilih oleh rakyat, kalau sultan atau imam. Menjadi istilah bagi suatu monarchi (kerajaan) yang turun temurun.

Jelaslah kiranya, bahwa yang dimaksud dengan ayat di atas yang dimaksud dengan “Ulil Amri minkum” ialah majlis-majlis konstituante dan parlemen.

Sesuatu keputusan konstituante atau keputusan parlemen, yaitu yang merupakan Undang-undang Dasar Negara dan atau undang-undang itu, wajib hukumnya ditaati oleh setiap ummat Islam yang menjadi rakyat dari negara itu. Seorang ummat Islam (Ahli Sunnah Wal-Jamaah) wajib taat kepada Allah, wajib taat kepada rasul-Nya juga wajib taat kepada Undang-Undang Dasar Negara dan Undang-undang biasanya.

Bukalah seorang Ahli Sunnah Wal-Jamaah, apabila ia taat kepada undang-undang dasar negara dan undang-undang biasa, jika tiada taat kepada Allah dan Rasul-Nya, atau sebaliknya.
Maka semua ummat Islam (Ahli Sunnah Wal-Jamaah) berkewajiban patuh dan taat:
a. Kepada suruhan dan larangan Allah SWT.
b. Kepada suruhan dan larangan Rasul Allah, dan
c. Kepada suruhan dan larangan negaranya.

Berdosa besarlah seorang yang tiada patuh dan taat kepada salah satu tiga perkara ini. Seseorang atau segolongan orang yang tiada mentaati negaranya dinamai “ba-ghin” jamanya “bughat” Bahasa Indonesianya Pemberontak.

Mengenai pemberontak-pemberontak ini, sebagai tadi telah diterangkan bahwa mereka yang memberontak pemerintahannya yang syah, berdosa besar kemudian Allah memberikan ketentuan-ketentuan dengan firmannya QS Al Hujurat Ayat 9

وَاِنْ طَاۤىِٕفَتٰنِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَاۚ فَاِنْۢ بَغَتْ اِحْدٰىهُمَا عَلَى الْاُخْرٰى فَقَاتِلُوا الَّتِيْ تَبْغِيْ حَتّٰى تَفِيْۤءَ اِلٰٓى اَمْرِ اللّٰهِ ۖفَاِنْ فَاۤءَتْ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَاَقْسِطُوْا ۗاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْن
Artinya:
“Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin itu bertempur, maka damaikanlah antara mereka itu. Maka jika zhalim yang satu atas selainnya, gempurlah yang zhalim itu sehingga ia kembali ke jalan Allah (haq).”

Orang-orang bughat (pemberontak) itu boleh dan sampai wajib digempur dengan tujuan supaya kembali ke jalan yang benar, apabila mereka sudah kembali, harus diperlakukan baik dan adil, sebab Allah SWT menyukai kepada setiap yang bersikap adil itu
.
Mukmin dengan sesama mukmin adalah bersaudara, mukmin dengan sesama mukmin adalah laksana sebuah bangunan yang kokoh kuat. Yang satu mengkokohkan yang lain sehingga “kaannahum – bun-yaanun marshuush”. Bagaikan sebuah gedung yang kuat membaja. Dan karenanya barulah akan menimbulkan potensi yang hebat. Sabda Rasulullah SAW.

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

Artinya:
“Perumpamaan orang-orang sesama mukmin dalam mereka supaya saling cinta mencintai satu sama lain dan kasih mengasihi satu sama lain dan hubung menghubungi satu sama lain, adalah laksana satu tubuh apabila yang satu merasa sakit, maka selainnya akan merasa sakit juga, rasa panas semalaman tak dapat tidur,” hadits Shohih.

Kembali kita kepada Pemerintahan Ahli Sunnah Wal-Jamaah (Islam). Supaya lebih jelas, perlu diterangkan, bahwa yang dimaksud dengan “Ulil Amri Minkum” itu ialah, “Parlemennya” dan “konstituantenya” bukan kepala negaranya, bukan waliyul amrinya atau imamnya, jadi yang wajib ditaati pada mulanya, adalah keputusan-keputusan dari parlemen dan atau konstituante itu, yakni setiap undang-undangnya. Baik ia undang-undang biasa atau Undang-Undang Dasar. Waliyul amri atau imam itu, termasuk para wazir-wazirnya (para menteri sebagai pembantu-pembantu imam) itu, merupakan pelaksana pemerintahan aparatur pemerintahan. Atau disebut juga “Badan Eksekutif”. Akan tetapi oleh karena Waliyul amri (imam) ini adalah menjadi pemegang amanat (mandataris) dari konstituante dan parlemen ini, maka setiap perintah atau larangan daripadanya adalah wajib ditaati pula. Taat kepada negara sama dengan taat kepada waliyul amri (imam) adalah berarti taat kepada konstituante dan parlemen (ulil amri minkum) itu, demikianlah juga taat pada para Wuzura (menteri-menteri sebagai pembantu imam) itupun hukumnya wajib.

Pemerintahan yang berazas Ahli Sunnah Wal-Jamaah itu, mempunyai struktur (bentuk) syura dan demokrasi terpimpin. Yaitu wajib terpimpin oleh Allah (Quran) dan Rasul-Nya (Hadits).
Demikianlah kira-kira jelasnya Ulil amri ini baiknya Majlis Konstituante atau Parlemen, untuk menetapkan sesuatu, tentunya harus bersidang guna bermusyawarah (berunding). Dalam musyawarah ini harus memperhatikan empat mabadi (Quwa’id) Ahli Sunnah Wal-Jamaah, yaitu:

  1. Qiyas
  2. Hadits
  3. Ijma’
  4. Qiyas

Mereka para anggota tersebut konstituante atau parlemen) ini, melakukan musyawarah (rapat-rapat dan bersidang). Dalam melakukan/mengadakan keputusan, mereka harus ijma’, artinya menurut suara terbanyak. Dalam arti terbanyak ini, apakah menggunakan terbanyak mutlak (separoh lebih satu) atau 2/3 dari jumlah yang hadir, itu boleh-boleh saja selama telah dimufakati oleh semua para anggota. Tentunya hal ini, diatur pula dalam “tata tertib persidangan”, yang membentuk undang-undang. Baik ia udang-undang yang sudah tetap (permanen) atau undang-undang yang bersifat sementara. Undang-undang yang permanen, artinya undang-undang yang telah disyahkan dengan keputusan suatu lembaga termaksud. Sedang undang-undang sementara yaitu yang belum mendapat pengesahan dari lembaga termaksud, baru saja hasil pembikinan dari panitia negara, misalnya atau dari suatu badan yang ditentukan lain.

Segala sesuatu yang dimusyawarahkan ini, tentunya segala hal yang menyangkut urusan apa yang menjadi maslahat (kebaikan) bagi ummat dan negara. Liishlaahil ‘ibaad wal bilaad. Apa yang menjadi kemaslahatan pemerintah dan rakyat. Demi untuk kemaslahatan ummat dan negara itu, harus dirumuskan dengan kata-kata yang berbentuk undang-undang. Maksudnya supaya sesuatu persoalan, harus berbentuk undang-undang yang telah dimufakati oleh seluruh ummat (bangsa) dari suatu negara. Tidaklah mungkin rakyat seluruhnya berkumpul di suatu tempat untuk bermusyawarah membikin undang-undang guna menjadi dasar hukum sesuatu persoalan itu. Maka itulah adanya (dibentuknya) lembaga-lembaga “ulil amri minkum” orang-orang yang mempunyai urusan dalam dan dari kamu sekalian. Artinya, wakil-wakil urusan kamu sekalian yang dipilih dari kamu sekalian.

Tentulah wakil-wakil itu jumlahnya tidak sebanyak rakyat yang diwakilinya. Misalnya, setiap satu juta rakyat diwakili oleh seorang atau setiap 300 ribu rakyat oleh seorang wakil. Demikianlah, sebabnya dinamakan “ulil amri”. Sekali lagi karena mereka menjadi wakil-wakil yang memikirkan, menjelaskan urusan-urusan yang menjadi kemaslahatan bagi rakyat dan negaranya. Lembaga-lembaga ini dapat dinamakan:

  1. Ulil Amri
  2. Ahlus Sunnah wal-Jamaah
  3. Ahlul Ijma, dan
  4. Ahlul Halli wal-‘Aqdi

Sebab dinamai “Ahlus Sunnah wal-Jamaah” dan “ulil amri” sudah diterangkan di atas. Dinamakan juga “Ahlul Ijma”, sebab mereka para anggota lembaga tersebut, untuk mengijma’kan sesuatu persoalan (urusan) rakyat dan negara, atau memusyawarahkannya. Yang musyawarah itu, harus mencari suara terbanyak dalam suatu keputusan. Mencari suara terbanyak, artinya “Ijma”.

Ahlul Halli wal-Aqdi, artinya orang-orang tukang mengurai dan mengikat. Artinya, membatalkan dan membikin undang-undang.

Keputusan-keputusan Ulil Amri (baik parlemen atau konstituante). Dinamakan undang-undang. Undang-undang biasa atau undang-undang dasar negara. Semua undang-undang itu wajib ditaati oleh semua warga negara, apabila keputusan-keputusan (undang-undang) itu tiada bertentangan dengan hukum yang ditetapkan oleh Allah (Quran) dan atau Rasul-Nya (Hadits). Sesuatu keputusan yang bertentangan dengan Quran dan Hadits, haruslah diveto (dibatlkan) oleh hukum Allah dan atau Rasul-Nya. Itu.

Suatu undang-undang misalnya membolehkan berjudi, itu harus diveto (dibatalkan), karena bertentangan dengan hukum Allah sendiri, sebab berjudi itu dilarang oelh Allah SWT.
Rasulullah SAW telah bersabda:

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

“Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf” (HR Bukhari, no. 7257; Muslim, no. 1840).
Jadi semua keputusan itu semua undang-undang itu, haruslah tidak bertentangan dan tidak menyalahi Quran atau Hadits. Bila terjadi menyalahi Quran atau menyalahi Hadits, keputusan itu, tidak boleh disyahkan dan harus dibatalkan. Dan karena itu, demokrasi Islam ini adalah demokrasi terpimpin.

Maka itulah artinya, Ulil Amri ini harus berlaku di atas mabaadi (qawaid) yang empat, yaitu:

1.Quran

  1. Hadits
  2. Ijma’
  3. Qiyas atau ra’j (Pertimbangan-pertimbangan)

Keputusan-keputusan itu harus disesuaikan dengan hukum Quran, harus disesuaikan dengan Hadits. Kemudian harus juga diusahakan jalan mufakat. Suara terbanyak harus menjadi keputusan (ijma’). Juga kemudian, harus juga diadakan perbandingan dan bermacam pertimbangan dilihat dari segala sudut dan jurusan (Qiyas). Misalnya mengenai masalah zakat. Al-Quran memerintahkan dengan cara umum saja dengan ayat : ”waatus zakat” artinya “wajiblah kamu sekalian menunaikan zakat”. Kemudian dijelaskan oleh Hadits Nabi, apa saja yang wajib dizakati itu. Buah-buahan, rikaz, uang logam (mas dan perak) dan binatang ternak. Dalam binatang terak itu Rasulullah hanya menjelaskan yang wajib dizakati itu, adalah unta, sapi dan kambing.

Bagaimana kerbau? Kerbau ini tidak disebut oleh Rasulullah SAW (mungkin karena di Negeri Arab pada waktu itu tidak ada). Oleh karena setelah dibanding, bahwa banyak sekali persamaannya, binatang kerbau itu dengan sapi, maka diqiyaskanlah kerbau itu kepada sapi. Jadi hukumnya kerbau itu wajib dizakati seperti sapi. Berapa banyak jumlah sapi harus dizakati. Maka sebanyak itu pulalah kerbau itu dizakati. Maka wajiblah pula diundangkan wajibnya kerbau dizakati itu.

Ulil Amri mempunyai hak dan kewajiban bermusyawarah dan bebas memikirkan apa yang menjadi kebaikan dan kemaslahatan urusan mereka itu, baik itu kemaslahatan negara dan ummatnya, atau itu partai dan perhimpunan mereka, firman Allah SWT Surah Ali Imran Ayat 159

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

Artinya:
“Dan bermusyarahlah kamu denga mereka dalam sesuatu urusan.”

Dalam soal-soal duniawiyah (muamalah) apa yang menjadi baik dan maslahat bagi kita, itu terserahlah kepada kita sendiri. Dalam hal ini Rasulullah telah menggariskan dengan sabdanya:
قَالَ أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ.
Artinya:
“Kamu sekalian lebih mengetahui dengan urusan duniamu sendiri.”

Di atas ini, adalah mengenai soal duniawiyah beda dengan soal ubudiyah, soal ibadah. Itu haruslah hanya dapat mengikuti apa-apa yang telah ditentukan oleh Allah (Quran) dan Rasul-Nya. Terlarang dalam agama mengada-adakan sesuatu yang tidak diadakan oleh Allah dan Rasul-Nya. Mengada-adakan sesuatu yang tidak ada pad zamana Rasul itu bid’ah dan tertolak.
Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ


Artinya:
“Barangsiapa yang mengada-adakan pada urusan kami yang tiada daripadanya, maka ia tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 20 dan Muslim, no. 1718]

Mengenai duniawi asal hukumnya, boleh, kecuali ada larangan syara (Quran dan Hadits). Mengenai ubudiyah (peribadatan) asal hukumnya, tidak boleh (dilarang) kecuali ada perintah syara (agama). Ini dikatakan dalam kaidah Ushuliyah dengan “Albaraatul Ashliyyah” artinya “lepas bebas dari beban pada asal mulanya”. Kadiah ini karena adanya firman Allah :

Artinya:
Siapa yang mendapat petunjuk, sesungguhnya ia mendapat petunjuk itu hanya untuk dirinya. Siapa yang tersesat, sesungguhnya (akibat) kesesatannya itu hanya akan menimpa dirinya. Seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kami tidak akan menyiksa (seseorang) hingga Kami mengutus seorang rasul. (QS Al Isra ayat 15)

Mengerjakan dan berbuat apa saja yang dipandang baik oleh kita di dunia ini, hukumnya boleh selama tidak ada laranganyang ditentukan oleh syara dan yang kita perbuat itu soal keduniaan.

Kita berpakaian, cara kita memakai dan menggunakan pakaian itu dobolehkan dengan cara bagaimanapun juga bentuk dan caranya pakaian itu, asal menutup aurat. Karena membuka aurat itu dilarang oleh syara, apakah kita memakai celana, apakah memakai sarung, apakah menggunakan jas, apakah menggunakan kemeja saja. Itu terserah kepada kita bagaimana baiknya, sesuai dengan proses dan perkembangan kebudayaan masyarakat kita masing-masing. Meskipun dalam hal ini kita perlu juga memperhatikan norma-norma kesopanan dan kesusilaan (akhlak).

Segi kesopanan dan akhlak memang perlu juga menjadi perhatian dan pertimbangan. Akhlak itu, perlu menjadi unsur muthlak dalam kita memperbuat sesuatu dalam urusan keduniaan itu sekalipun.

Kita boleh memakai pakaian dengan cara bagaimanapun, asal menutup aurat itu tadi. Tetapi harus wajar artinya sesuai dan lumrah dengan cara berpakaiannya masyarakat kita pada umumnya, di tempat dan pada masa itu.

Di suatu tempat (negara atau kampung) yang asing bagi penduduknya terhadap seorang yang berpakaian tidak dengan menutup kepala (tidak memakai peci) misalnya kita pada waktu itu, janganlah tidak memakai peci, meskipun buka kepala itu bukan larangan syara, sebab kepala itu bukan aurat, kita berpakaian dengan cara yang tidak wajar, namanya cara demikian itu tidak atau kurang baik.

Makan makanan yang halal hukumnya boleh, dimana dan di waktu kapanpun. Seseorang pemimpin atau seorang ulama ia makan di pasar atau sebuah warung jongkok yang dapat diketahui (terlihat) oleh orang-orang banyak yang biasa memberi penghormatan kepadanya. Makannya seorang pemimpin atau seorang ulama semacam demikian itu tidak baik karena tidak wajar. Unsur kesopanan dalam cara makannya pemimpin atau ulama tersebut, ditinggalkan. Maka karena itulah, sebagai para ulama (ahli hukum) berpendapat, bahwa seorang yang banyak meninggalkan kesopanan (akhlak) itu, tak dapat menjadi saksi dan ditolak kesaksiannya.

Bagaimana ukurannya seseorang yang mempunyai akhlak dan kesopanan itu, yaitu: Orang yang mempunyai kesopanan seperti kesopanan masyarakatnya itulah orang yang berakhlak. Tetapi sudah tentu, kesopanan masyarakatnya yang tiada bertentangan dengan syara.

Mengenai persoalan ubudiyah (peribadatan), asal hukumnya tidak boleh (dilarang), kecuali apabila ada perintah dari syara. Tiada boleh ditambah dan dikurangi. Shalat Isya misalnya harus dilakukan dengan empat rakaat, tidak boleh ditambah atau dikurangi dari rakaat itu.

Rasulullah SAW memerintahkan kepada kita untuk memberi makanan kepada ahli mayit, karena sebab mereka sedang dirundung kesusahan. Maka kita tidaklah baik mengerjakan sebaliknya, yakni, maka ahli mayit yang hiruk pikuk membikin makan-makanan guna persediaan orang banyak yang melawat kepadanya. Itu hukumnya bid’ah munkaroh semua kitab fiqih menghukumkan demikian.

Peribadatan (ubudiyah) itu, ada yang ma’qul (rasional) ada yang tidak soal ibadah itu. Ada yang dimengerti oleh pikiran kita, ada pula yng tidak.

Apakah sebab, syara menentukan kita bersedekah, sehingga sedekah itu ada yang sunah dan ada pula yang wajib. Itu, dapat dimengerti oleh akal kita. Karena agar manusia itu, tolong menolong, bantu membantu satu sama lain. Yang satu bermanfaat bagi yang lain.

Apakah sebab dan hikmah maka manusia itu diperintahkan shalat. Agar manusia itu ada hbungannya dan kontak antaranya dengan tuhan. Akan bersihlah jiwanya, akan murnilah kepribadiannya seseorang manusia yang senantiasa ada hubungan (kontak) jiwa dengan Allah SWT.

Apakah hikmah dan sebab manusia dilarang meminum minuman keras. Sebab seseorang yang meminum minuman keras itu, akibatnya menjadi mabuk. Manusia yang mabuk itu berarti hilang akalnya, sama dengan orang gila. Orang yang gilapun hilang akalnya. Tercelalah bagi kemanusiaan seseorang yang hilang akal itu. Persoalan ibadah itu ada pula yang tak dapat dimengerti (tidak ma’qul) apa sebab sembahyang zhuhur empat rakaat, Wallahu a’lam. Apa sebab shubuh hanya dua rakaat dan Maghrib tiga rakaat, wallaahu a’lam.

Umar bin Khatab r.a. meskipun ia tiada mengerti apa maksudnya mencium Hajar Aswad, ia menciumnya juga karena ia melihat Rasulullah mencium Hajar Aswad itu.

Umar berkata:

إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ، لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ، وَلَوْلاَ أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ

Artinya: “Sungguh, aku tahu, kamu hanya batu. Tidak bisa memberi manfaat atau bahaya apa pun. Andai saja aku ini tak pernah sekalipun melihat Rasulullah SAW menciummu, aku pun enggan menciummu.” (HR Bukhari)

Jadi semua soal-soal ubudiyah, soal-soal diniyah (soal-soal keagamaan), ma’qul atau tidak, dimengerti atau tidak, himat dan faedahnya, kita harus mengikuti juga.
Firman Allah dalam surat Al Hasyr ayat 7
وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ 
Artinya:
“Apa-apa yang Rasul datangkan kepada kamu sekalian, maka wajib kamu ampbil dan apa-apa yang dilarangnya wajib kamu singkiri.”

Soal ubudiyah disebut juga soal diniyah, terhimpun dalam empat ribu Rubul Ibadat (peribadatan), rubul muamalat (pergaulan sesama manusia) seperti jual beli, titipan, utang piutang dan sebagainya, rubul munakahat (pernikahan) dan rubul jinayat (pidana). Kesemuanya itu, digariskan dan ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan kesemua itu bersumberkan Quran, Hadits, Ijma dan Qiyas.

Ulul Amri itu juga harus memperhatikan pedoman dan beberapa ketentuan dasar (kaidah Usuliyah) diantaranya:

1. “Yang lebih banyak megalahkan yang lebih sedikit. Tiga mengalahkan dua, dan dua mengalahkan satu.”.

    2 “Bagi hukum perantara sama dengan hukum tujuan.” Atau“Segala urusan harus dilihat tujuannya.”

    1. “Kesulitan membawa keentengan.” Atau“Kesulitan membolehkan sesuatu larangan.” Atau “Apabila sempit sesuatu urusan maka ia menjadi luas.”

    4.“Dalam dua kesulitan diambilnya yang terenteng.”

    5.“Menolak kerusakan, harus didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.”

    6.“Yang yakin tiada hilang dengan yang syak.”

    7.“Hukum terkadang berubah karena waktu dan tempat.”

    8.“Dimana terdapat kemaslahatan disanalah ajaran Allah.”

    9.“Sesuatu yang wajib, tak dapat sempurna kecuali dengannya, maka ia hukumnya wajib juga.”

    10.“Adat itu dipandang hukum.”(Sudah tentu adat yang tidak melanggar hukum Agama Islam).

    Diantara lain contohnya: sudah menjadi adat bagi masyarakat bahwa barang siapa yang terlebih dahulu menempati suatu tempat duduk di dalam suatu kendaraan umum, bis misalnya, maka dialah yang mempunyai hak duduk dalam tempat itu, sampai di tempat mana ia memerlukannya tidak boleh disingkirkan oleh siapapun. Dan ini, menjadi suatu undang-undang yang tiada tertulis, artinya adat semacam ini menjadi hukum.

    Supaya menjadi jelas, marilah kita uraikan keterangannya serba sedikit mengenai pedoman dan ketentuan dasar (kaidah usuliyah) di atas itu tadi.

    Keterangan No. 1.
    “Yang lebih banyak mengalahkan yang lebih sedikit,” ini artinya pedoman bagi caranya bermusyawarah.
    Musyawarah dalam Islam adalah soal prinsipil dan menjadi unsur muthlak, sebagai telah diterangkan di atas tadi.

    Cara musyawarah, yang harus diambil menjadi keputusan dan menentukan adalah suara terbanyak. Apakah terbanyaknya muthlak, artinya separuh lebih satu atau lebih dari itu? Kepada sesuatu keputusan musyawarah yang telah menjadi keputusan, semua anggota musyawarah itu harus (wajib) tunduk dan taat. Tidak boleh (haram) menentangnya; sebab, itu adalah hasil keputusan musyawarah mereka sendiri ( seluruh anggotanya). Apakah ia termasuk kepada golongan yang menang dalam keputusan itu, atau termasuk kepada suara yang kalah, ataupun termasuk kepada yang menyatakan blanko (abstain). Kesemua mereka ini wajin tunduk dan taat serta menghormati akan putusannya itu.
    Malah mereka anggota yang tidak turut menghadiri juga wajib mentaati dan menghormatinya akan keputusan permusyawaratan itu. Misalnya, jumlah dari anggota permusyawarata (ulil amri) itu 200 orang. Mereka bermusyawarah dan yang hadir hanya berjumlah 180 orang saja, 20 orang tidak hadir karena berhalangan atau sengaja tak mendatangi permusyawaratan. Musyawarah (persidangan) dilakukan juga, sebab menurut peraturan yang ada sudah mencukupi quorum, sehingga permusyawaratn akan syah dan mengikat. Kemudian para anggota yang berjumlah 180 orang ini bermusyawarahlah. Lalu mereka mengambil keputusan “a” misalnya. 100 anggota dari mereka menyetujui akan “a” itu, yang 60 orang tidak menyetujuinya dan yang 20 menyetakan suara blanko. Maka karena itu masalah “a” ini diambil menjadi keputusan, sebab disetujui oleh suara terbanyak.

    Maka, wajiblah kesemua mereka itu yaitu para anggota yang berjumlah 200 orang itu taat dan menghormati akan keputusan itu. Mereka semua yang hadir atau yang tidak hadir, yang menyetuji dan tidak menyetujui keputusan itu, semuanya mereka wajib melaksanakan keputusan itu, semuanya mereka tidak boleh menyatakan oposisinya di luar keputusan. Wajib semuanya taat dan menghormati. Terlaranglah bgi mereka, mengomel-ngomel lagi setelah menjadi keputusan itu. Firman Allah QS An Nahl 92 :

    وَلَا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا تَتَّخِذُونَ أَيْمَانَكُمْ دَخَلًا بَيْنَكُمْ أَنْ تَكُونَ أُمَّةٌ هِيَ أَرْبَىٰ مِنْ أُمَّةٍ ۚ إِنَّمَا يَبْلُوكُمُ اللَّهُ بِهِ ۚ وَلَيُبَيِّنَنَّ لَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
    Artinya Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.

    Walaupun tidak setuju akan masalah “a” tersebut dijadikan suatu keputusan, tetapi oleh karena ia kalah suara, maka setelah diputuskan. Wajib pulalah ia tunduk dan taat.

    Pada suatu ketika di Madinah, Rasulullah SAW bermusyawarah dengan para sahabatnya, dikala akan terjadinya peperangan “Uhud”. Acaranya, karena musuh (kafir quraisy) akan menyerang kaum muslimin, bagaimana baiknya kaum muslimin itu bertahan saja di Kota Madinah (defensif) atau perlu menyerbu keluar memberikan serangan (opensif). Sebagian dari mereka itu setuju dan keras mempertahankan pendiriannya, agar kaum muslimin itu menyerang saja (opensif) dimana musuh berada di seberangnya. Pendapat ini adalah pendapatnya sebagian terbesar para pemuda. Akan tetapi sebagian lainnya, termasuk Rasulullah SAW sendiri, setuju mempertahankan diri saja di Kota Madinah ini. Perdebatan terjadilah dengan sengitnya.

    Kemudian setelah diambil stem suara, maka golongan yang setuju menyeranglah yang mendapat suara terbanyak dan menang. Setelah keputusan diambil, maka masuklah Rasulullah ke dalam rumahnya, untuk bersalin dengan pakaian perangnya.

    Pada waktu Rasulullah SAW di dalam kamarnya, sebagian shahabat kaum tua agak menggerutu kepada kaum muda yang dalam musyawarah dengan Rasulullah tadi dengan gaya agak keras dan kurang sopan, seperti yang seolah-olah bukan sedang berhadapan dengan Rasulullah saja dan malah menentang kepada apa yang disetujui olehnya. Maka pendapat itu dan nasehat kaum tua itu, tersalah kebenarannya. Bahwa mereka agak kurang berlaku sopan di hadapan Rasulullah pada waktu musyawarah itu tadi. Penyesalan terasa dihati mereka.

    Rasulullahpun keluarlah dari kamarnya dengan berpakaian perangnya. Pada ketika itu, salah seorang pemuda berkata, “Ya Rasulullah, ampunilah kami ini, telah berlaku tidak sopan di hadapan tuan waktu kita bermusyawarah tadi. Oleh karena itu, selain kami mohon maaf sebanyak-banyaknya, terserahlah kepada tuan apa yang tuan akan ambil tindakan, kami setuju saja. Apakah kita bertahan saja di dalam kota atau kita menyerang keluar kota. Maka Rasulullah menjawab: “Demi Allah, tidaklah patut apalagi bagi seorang Rasul untuk mencabut suatu keputusan yang telah disepakati, dan marilah kita semua berangkat ke medan juang.”

    Perlu juga diketahui, bahwa keputusan-keputusan itu harus dilaksanakan dengan sungguh sambil bertawakal kepada Allah SWT janganlah hendaknya keputusan itu hanya merupakan hitan di atas putih saja. Surah Ali Imran Ayat 159

    فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

    Artinya:
    ”Maka apabila kamu ber’azam (atas sesuatu hal) bertawakalah atas Allah. Bahwasanyaa Allah suka terhadap orang-orang bertawakal.”

    Demikian firman Allah yang bermaksud kira-kira bahwa setelah kita bermusyawarah akan sesuatu urusan dan kemudian telah menjadi suatu keputusan bersama, maka wajiblah kita melaksanakannya dengan sungguh-sungguh sambil bertawakal kepada Allah dan mengaharapkan pertolongan-Nya, sehingga apa yang kita maksudkan itu dapat tercapai dengan baik serta dalam ridla Allah pula.

    Keterangan No. 2.
    “Sesuatu yang menjadi lantaran, hukumnya sama dengan yang menjadi tujuan.”
    Contoh: Sembahyang hukumnya bagi kita wajib maka semua hal yang menjadi lantaran bagi terlaksananya sembahyang itu, mempunyai hukum wajib juga. Seperti mencari kain penutup aurat, mencari air guna berwudlu dan lain-lainnya. Kita ummat Islam, hukumnya boleh menjadi seorang yang mempunyai kekayaan maka mengerjakan semua hal yang menjadi lantaran bagi tercapainya kekayaan itu, hukumnya mubah (boleh) juga.

    Keterangan No. 3.
    “Kesulitan membawa keentengan.”
    Contoh: di waktu kita lapar dibolehkan makan bangkai sekedar menutup lapar.

    Keterangan No. 4.
    “Dalam dua kesulitan diambil yang paling ringan.”
    Contoh: dalam suatu jalan tikungan, setiap hari banyak saja kecelakaan mobil, sehingga karenanya banyak korban manusia. Bainya, jalan itu harus diluruskan. Tetapi jika jalan diluruskan, banyak rumah-rumah orang terganggu. Maka dalam menghadapi dua kesulitan itu, harus diambil pertimbangan yang paling sedikit resikonya. Dalam hal ini, tentulah lebih baik (lebih enteng) memindahkan rumah orang-orang dan meluruskan jalan raya itu daripada setiap hari banyak korban manusia. Oleh karenanya, bolehlah rumah-rumah orang itu dipindahkan dipaksa sekalipun (suka atau tidak pemilik-pemilik rumah itu), ongkos pemindahan dipikul oleh masyarakat atau negara.

    Keterangan No. 5.
    “Menolak kerusakan harus didahulukan daripada menarik kemaslahatan.”
    Contoh: Guna menambah-nambah biaya rumah tangga, bisa juga dilakukan dengan mengadakan suatu tempat “Taman Hiburan” itu, pasti mendatangkan kemaksiatan yang banyak. Maka membikin “Taman Hiburan” semacam itu, wajib ditolak (diurungkan) meskipun akan menjadi tambahan biaya itu tadi sebagai suatu kemaslahatan rumah tangga.

    Keterangan No. 6.
    “Yang yakin tidak hilang dengan yang syak (ragu-ragu).”
    Contoh: “Kita yakin, bahwa pagi tadi kita sudah berwudlu (ambil air sembahyang), kemudian kita syak (ragu-ragu) apakah kita sudah batal atau tidak. Hilangkanlah keragu-raguan itu, wudlu kita tidak batal.

    Keterangan No. 7.
    “Hukum terkadang berubah, karena waktu atau tempat.”
    Contoh: Mencuri hukumnya haram , tetapi mencuri harta musuh di waktu perang hukumnya mubah atau terkadang wajib. Makan dan minum bagi siapapun hukumnya mubah, tetapi makan dan minum bagi seorang ulama / pemimpin, makrulah hukumnya bila di suatu tempat yang akan mengurangi kehormatannya, sepeti di pasar tempat yang umum. Tidak memakai peci, hukumnya mubah, tetapi makruh (sedikitnya) bagi seorang kiai besar tiada memakai peci (membuka kepala) di tempat orang banyak.

    Keterangan No.8.
    “Dimana terdapat kemaslahatan disanalah syara Allah.”
    Artinya: “Setiap syara Allah akan menarik kemaslahatan dan setiap kemaslahatan tentulah sesuai dengan syara.”

    Keterangan No. 9.
    “Wudlu untuk sembahyang wajib, menjadi wajib hukumnya, kalau wudlu untuk membaca mushaf hukumnya sunnah.”

    Keterangan No. 10. sudah jelas.

    Marilah kita kembali kepada asal persoalan yaitu, bahwa setiap pemerintahan Islam yang syah adalah diistilahkan orang dengan “Ahli Sunnah wal-Jamaah” dan istilah ini digunakan orang sejak pemerintahan Muawiyah. Selainnya pada waktu itu dinamakan Khawarij dan Syi’ah. Mereka Ahlul Baghyi atau bughat (pemberontak). Untuk menambah pengetahuan kepada kita, disini disuntingkan juga beberapa keterangan mengenai khawarij dan syi’ah itu sebagai yang dinyatakan oleh Syekh Muhammad Abu Zahw dalam kitabnya ”AL-HADIST WAL-MUHADDISTUN ” sbb.
    “bahwa khawarij itu, adalah suatu kaum yang keluar dari pemerintahan Ali r.a., setelah Ali menerima “tahkim”, yakni adanya perdamaian antaranya dengan Mu’awiyahy r.a di Shiffin (Shiffin Carter) itu. Memang sangatlah mengherankan, karena sewaktu Ali menolak dan tidak setuju /atau menyetujui perdamaian itu, merka (khawarij) memaksa Ali untuk menerima tawaran perdamaian dari Mu’awiyah itu.Tetepi setelah Ali menerimanya beberapa hari kemudian, mereka (khawarij) menolaknya dan memberontak. Mereka berpendapat, bahwa khalifah itu wajib dengan pilihan yang bebas merdeka.
    Dan khalifah itu, tidaklah harus mutlak dipilih dari ahlulbait dan golongan quraisy semata-mata. Mereka tiada membedakan antara kafir dan fasq, tetapi setiap orang yang melewati batas-batas hukum Allah, maka orang itu fasiq Dan setiap orang fasik itu kafir karena suatu perbuatan itu pada pendapat mereka adalah suatu bagian dari iman. Maka seseorang yang berbuat (menyusun) dosa besar adalah kafir. Mereka mengakui sahnya khalifah Abu Bakar dan Umar r.a, karena pemilihannya kedua khalifah itu demokratis dan sah.Juga mereka diakui kesahannya khalifah Usman r.a pada tahun-tahun pertamanya semasih ia melakukan apa seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar. Tetapi setelah Usman menetapkan ahli kerabatnya menjadi wali-wali negeri dibeberapa wilayah, maka sejak itulah Usman dicela mereka.

    Mereka mengakui kesahannya khalifah Ali r.a selam sebelum Ali menerima “tahkim” itu. Tetapi setelah terjadinya tahkim,Ali dipandang mereka kufur, sebab pada pendapat mereka,Aliitu telah membikin hukum sendiri. Pendapat dan semboyan mereka “La hukma illa lillah”(tiada hukum hanya kepunyaan Allah saja);mereka beralasan dengan firman Allah:”Waman lam yahkum zalallahu faula ika humul kaafirun”.

    Mereka ingkar juga kepada Mu’awiyah, karena Mu’awiyah itu “istibdaad”, berhaluan monarkhi, berusaha dengan keras agar pimpinan pemerintahan itu oleh keturunannya dan turun menurun.Oleh karenanya pada pandangan mereka, adalah suatu perampasan(penggasaban) terhadap khalifah.

    Sebahagiaan dari mahzab meraka. Bahwa mereka yang bekerja sama denga dan menolong Mu’awiyah dan orang yang tidak melepaskan diri dari Ali dan Usman, adalah kafir dan halal darahnya.Maka Ali dan syi’ahnya, Mu’awiyah dan a’wannya, Usman dan orang-orangnya yang tidak melepaskan diri dari padanya , semua mereka itu.
    Pada pandangan khawarij adalah kuffaar dan halal darahnya. Dan yang terang bahwa kaum khawarij itu, adalah segolongan orang-orang Arab yang berhati keras,kering yang oleh Allah s.w.t telah disignalir (diperingatkan) dengan firmannya: Al-a’rabu asyaddu kufran wanifaqahn waadidaru aula ja’lamu hududa ma an zalallahu ‘ala rasulihi”.”Bahwasannya orang-orang Arab baduwi itu sangat keras kekufuran dan infaqnya dan lebih-lebih mereka tidak mengetahui batas-batas hukumnya yang diturunkan Allah atas Rasul-Nya”.

    Maka tidak seorangpun dari mereka yang termasuk sahabat Rasul SAW yang mendapat cahaya nubuwwah dan dapat memahami Quran atas jalan yang benar. Maka tiadalah kita heran, apabila mereka terpedaya dengan zhahirnya Quran semata-mata. Padahal jika mereka bersungguh-sungguh dan faham akan isi Quran, mereka pasti akan menjumpai juga dengan ayat yang memperbolehkan (menyuruh) akan tahkim itu, Firman Allah dalam Surat An-Nisa : “Faba’atsu hakaman min ahlhi wahakaman min ahlihaa in yurida ishlaahan yuwaffiq llahu bainahuma” maka tahkim itu, suatu hukum syara. Sedangkan kedua hakam (perutusan dari kedua pihak) itu, mereka berhukumkan dengan sekira yang diperintahkan oleh Al-Quran juga. Yaitu ayat: “Faintana-za’tum di syaiin faruddu-hu ilallahi war rasul.”

    Adapun Ali pada permulaannya tidak mau bertahkim itu, karena ia melihat bahwa adanya tuntutan tahkim itu semata-mata suatu khid’ah saja, suatu tipuan muslihatnya Muawiyah dan Amr bin ‘Ash untuk membingungkan pasukan dan tentara Ali yang gagah perkas itu. Sedang tentara Muawiyah akan menemui kehancuran dan terdesak mundur, maka tentara Muawiyah itu masing-masing meletakan mashaf di ujung tombak-tombaknya dan diangkat mereka sebagai isyarat untuk diadakannya tahkim (perdamaian) dengan kitabullah Al-Quran.

    Andaikata (ini andaikata) pada ketika itu sahabat dan tentara Ali r.a. taat akan ajakannya yakni tiada menerima akan tahkim itu; artinya pertempuran diteruskan saja, maka akan berobahlah muka sejarah (tarikh) dan tidaklah seperti keadaan sekarang ini dan akan terjadilah bagi Muawiyah dan Ahli Syam sesuatu keadaan yang suram tiada seterang seperti yang telah terjadi bagi sejarah mereka. Tetapi memang demikianlah takdir Allah SWT dan tiadalah sesuatu yang dapat menghalangi menolaknya. Kaum Khawarij memandang halal membunuh dan memerangi dan menggempur kepada setiap khalifah bani Umayah.

    Daulah Amawiyah ini, sepanjang masa sejarah perkembangannya, selalu dibayangi dengan suasana sedih karena diserang terus menerus oleh pemberontakan golongan Khawarij yang dahsyat itu; sehingga dapat dikatakan, tak dapat menjalankan pemerintahan dengan tentram dan tenang.

    Dengan pimpinan Malhab bin Safrah, dengan pasukan jibakunya (bernai mati) terus menerus mengadakan serbuannya. Sehingga mendatangkan malapetaka yang berganti-ganti.

    Kadaan semacam ini, terus menerus hingga pada awal pertama khalifah Abasiyah. Tetapi padamlah kemudian bara pemberontakan Khawarij ini dan hancurlah kekuatannya. Demikianlah kiranya Allah SWT berkehendak memberikan istirahat bagi kaum muslimin dari kejahatan Khawarij tersebut.

    Bagaimana fiqih Khawarij tersebut?

    Oleh karena mereka Kaum Khawarij bodoh tentang hadits dan mereka tidak banyak mau menerima hadits itu dari selain mereka sendiri, disebabkan juga mereka selalu memandang ragu-ragu terhadap hadits-hadits yang datang sampai kepadanya, maka dengan demikian fiqih mereka itu berlainan dengan hukum-hukum syariat Islamiyah malah terkadang menyalahi juga dengan nash Quran sendiri.

    Sebagian mereka berpendapat, bahwa tayamum itu hukumnya boleh meskipun di pinggir sumur. Sebagian lagi berpendapat, kewajiban sembahyang itu hanya satu rakaat di waktu pagi dan satu rakaat di waktu sore hari. Adapula yang berpendapat, naik haji itu boleh dikerjakan pada bulan manapun juga. Sebagian mereka juga ada yang berpendapat, bahwa halal darah anak-anak kecil dan atau perempuan yang tidak segolongan dengan asykar mereka ada juga yang menghukumkan, boleh bernikah dengan cucu/keturunan perempuan, baik anak dari anak perempuan atau dari anak laki-laki.

    Demikian ini menunjukkan sangat mendalam kebodohan mereka itu, sehingga dengan Quran sekalipun apapula terhadap hadits yang sebagai tadi telah diterangkan bahwa mereka tidak dapat menghitung dan menerima kebenaran sesuatu riwayat yang dibawa oleh jumhur muslimin, sebab mereka itu dalam pandangannya kafir belaka. Maka tentu saja mereka itu tidak akan mengambil agama bagi mereka dari kaum yang dipandang kafir itu.

    Yang menjadi I’timad dan sandaran mereka untuk agamanya itu, hanyalah sesuatu yang diriwayatkan oleh imam-imamnya oleh para pemimpinnya saja. Wal hal sebagai telah diterangkan tadi di atas, bahwa para pemimpin mereka itu, kosong dari ilmu pengetahuan tentang hadits Rasulullah SAW bahkan kosong pula dari memahami hukum-hukum Quran atas jalan yang syah.
    Tetapi sudah tentu ada saja kecualinya. Artinya, meskipun dengan jumlah yang sedikit sekali, ada saja Khawarij yang tiada tersifati seperti sifat-sifat di atas, artinya adalah saja diantara mereka yang masih boleh dipercaya meskipun kepercayaan ini akan jarang sekali terjadi. Sebab diantara afradnya orang-orang (Khawarij) itu, atau diantara imamnya ada yang belajar sungguh dalam agama dan meriwayatkan hadits juga.

    Menurut keterangan Ibnu Salakh dalam muqadimahnya bahwa setengah para imam hadit seperti Bukhari i’timad (percaya) juga dengan sesuatu hadits. Yang diriwayatkan oleh orang Khawarij semacam ini; bahwasanya Imam Bukhari telah berhujjah dengan sesuatu hadits yang dibawa oleh Imam bin Khathan seorang Khawarij.

    Memang pantaslah, lebih-lebih suatu hadits yang diriwayatkan oleh Khawarij itu akan lebih dapat dipercaya, sebab seorang Khawarij memandang kufur bagi siapa yang suka membohong. Jadi akan benar-benarlah kebenaran hadits yang dibawanya itu.

    Meskipun demikian, mereka yang memandang kufur bagi orang yang suka membohong. Tetapi karena dorongan hawa nafsunya banyak sekali mereka memalsukan hadits dan membohongi terhadap Rasulullah SAW karena untuk menguatkan mazhabnya yang tidak benar itu. Jadi banyak sekali Kaum Khawarij itu memalsukan dan mewadlakan hadits Nabi, meskipun tidak sebanyak yang dipalsukan oleh golongan Kaum Syi’ah.

    Tinggalkan Komentar

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *